Kamis, 14 Februari 2013

Pilkada Kota Pariaman 2013, Anas Malik Masih Figur


Rabu, 13 Februari 2013 - 09:29:14 WIB

Oleh : Abrar Khairul Ikhirma *)

PILKADA (Pemilihan Kepala Daerah) Kota Pariaman, babak awal kini sudah mulai meramai. Ramai “gerakan,” ramai aksi baliho dan kalender, ramai jadi perbincangan di kedai-kedai kopi (hanya) tertentu, selebihnya melesu dan tidak mau tahu.

Kepedulian terhadap pemimpin tampaknya sudah tergerus di masyarakat umum. Apalagi untuk “Orang Pariaman” (maksudnya, masyarakat umum yang tidak anggota dan pengurus partai politik) gaya politiknya tak mudah dideteksi hanya melalui teori, hitung-hitungan, sampai sekilas lintas.

Karakter masyarakatnya sungguh “misteri.” Sulit terbaca utuh kemana arah sebenarnya. Namun ia mudah “ditaklukkan” pabila mengetahui dan memahami secara “utuh” karakter manusianya.

Sayang sekali, dalam rentang waktu setelah 2 periode kepemimpinan Bupati Anas Malik (dimana belum lahir Kota Pariaman yang definitive) 1980-1985 dan 1986-1990, tidak ada pemimpin yang dapat menyamainya, atau setidaknya mengarah memiliki “spirite” beliau, sampai kini.

Baik untuk kota mau pun untuk kabupaten. Kepemimpinan beliau tidak bersandar pada politic. Orang Pariaman kecuali segelintir yang memposisikan menjadi elite politic, sesungguhnya tidak tertarik pada politic praktis. Orang Pariaman memiliki “gaya”nya sendiri dan “politik”nya yang khas dalam kehidupannya yang telah diwarisinya.

Kehangatan suasana politik yang baru tingkat awal ini, menjelang Pilkada 2013 yang akan dilaksanakan menjelang akhir tahun ini, lebih hangat hanya di kalangan pemain politik itu sendiri. Tidak di dalam masyarakat umum. Banyak kalangan elite dan pemain pemanfaat suasana politik, yang mereka itu hanya terbilang segelintir, jika didengar ulasannya terkesan anggap mudah menuju akhir penentuan.

Ada peringatan tak tertulis sejak lama: Jangan anggap remeh masyarakat Pariaman! Politik orang Pariaman banyak tak masuk akal tapi bisa merubah “akal” (maksudnya berakibat menjadi tidak waras, setidak-tidaknya dianggap tidak waras meskipun masih waras). “Orang –yang benar-- Pariaman” tahu akan maksud itu. Sering terbukti: “Diganggam, mangko badarai…,”

Misalnya saja, hampir di semua Pilkada waktu terakhir di berbagai daerah, yang pertama muncul “promo” berupa kalender, spanduk dan baliho adalah tokoh yang akan maju menjadi “orang nomor satu.” Baru setelah dideklarasikan, disusul muncul promo tokoh itu bersama (wakil) pasangannya.

Tetapi di menjelang Pilkada Wako dan Wawako Pariaman kali ini, menjadi luarbiasa (aneh/sensasi?), di berbagai sudut kini mulai terpasang spanduk dan baliho seorang calon, maju sebagai Calon Wakil Walikota, diantara personal yang ingin menjadi Walikota.

Wakil siapakah dia? Padahal tokoh bersangkutan belum mengumumkan resmi dengan siapa pasangannya. Dan cimeeh gaya Piaman pun beredar, “Lai ndak maju pulo sitokar dari sopirnyo…,” Lebih heboh calon wakil ketimbang cawakonya yang entah siapa.

Sementara itu, selain terang-terangan Calon Wako mulai menampakkan diri ke publik melalui bentuk promo. Wako Pariaman sekarang yang akan memasuki akhir masa jabatannya, konon kabarnya akan maju sebagai calon incumbent.

Belum ada pernyataan resmi untuk itu. Tetapi akhir-akhir ini telah berserak baliho memajang foto beliau sebagai walikota. Tentu saja dibiayai anggaran daerah karena berupa himbauan dan pesan-pesan sosial dan moral dari instansi SKPD (Satuan Kerja Pelaksana Daerah). Misalnya saja soal pariwisata, produk industry kecil, dan lainnya.

Namun masyarakat Pariaman kepekaannya (saat ditelusuri) melebihi himbauan dan pesan itu sendiri. Cimeeh banyak orang yang sempat didengar, “Lah taniayo himbau jo pasan, dek mukasuik nan kadituju.” (Teraniaya/korban arti himbauan dan pesan, karena maksud lain yang ingin dituju).

Ada banyak prediksi dan pihak (entah apa maksudnya) menggelontorkan nama-nama pasangan yang akan maju ke Pilkada Kota Pariaman. Namun itu baru sebatas rumor. Begitu juga mencoba-coba memetakan politik dan kantung suara sebagai kekuatan. Semuanya tentu sah-sah saja. Setiap gerakan dan perilaku ke public akan tetap menjadi bahan perbincangan oleh sejumlah kalangan atau berbagai kalangan.

Untuk politik??? Tinggal lagi apakah hanya sebatas cerita lapau atau meruyak ke tingkat public yang lebih luas lagi. Tergantung lagi masalahnya apa. Cerita remeh temeh atau perkara besar? Biasanya yang lebih popular di Pariaman sebagai topic bukan cerita kehebatan seseorang atau sesuatu yang penting, umumnya hanya perihal kekonyolan bahkan keburukan (kalau ada) lebih menarik “dipaotakan” dimana-mana, sampai ke balik gunung ke seberang lautan.

Dikatakan bahwa dengan politic uang, suara akan dapat diraih. Tidak usah disebutkan tapi pernah jadi sebutan kalangan pemain politik di Pariaman. Di satu kampung itu, ada saja mendatangi setiap calon mengatakan siap menghimpun orang agar memilih yang bersangkutan.

Yang penting kalau ada uangnya. Hampir semua calon saat Pemilu waktu lalu terjerembab di sana. Uang habis, suara tak ada. Bagi masyarakat bukan kalangan politik, hal serupa itu bukan dosa tapi kebanggaan. Buktinya dimana-mana mereka akan menceritakan bahwa si anu kalah, gara-gara uangnya diludeskannya dengan jalan ini dan itu. Kebanggaan yang sangat naïf tapi popular.

Bermain uang tak menentukan berpolitik di Pariaman. Tanpa uang politik yang dimainkan juga tak akan ada apa-apanya. Pun pernah dibaca, pendapat seorang yang mempublikasikan bahwa Cawako untuk Kota Pariaman salah satunya dipandang masyarakat dimana “sasok jaraminya” atau rumpun keluarganya dan kampungnya.

Analisis itu tak menjamin untuk terpilih. Karena tradisi kekuasaan dipahami masyarakat sekarang tidak lagi melihat hal itu. Sebab dalam lingkar kecil saja, sulit mendapatkan panutan yang berpengaruh dari suatu keluarga atau kaum. Bahkan masyarakat sudah punya kesimpulan sendiri yang tak terbantahkan, jika dia sedang berkuasa, sanak saudaranya akan “kenyang” fasilitas. Kalau ada juga melihat sasok jerami paling hanya sebatas di kampung si calon itu sendiri, diluar itu orang tak begitu peduli.

Artinya… masyarakat dewasa ini memiliki perhatian yang terpecah-pecah. Generasi yang bangkit sekarang ini, sulit untuk terkonsentrasi pada hal kepentingan public ke depan. Jangankan masyarakat, di kalangan organisasi sendiri, perkara umum adalah tidak solid.

Apalagi masyarakat Pariaman, pantang kalangkahan, pantang diagak-an dan pantang mengatakan orang hebat. Mulai dari anak kecil sampai orang yang akan mati besok, adalah raja. Setidaknya beraja di hatinya sendiri. Siapa yang akan sanggup menghadapinya dan menguasainya??? Itulah pemimpin sebenarnya.

Sampai sekarang, dalam pengamatan sejumlah tahun terakhir ini, dengan berbagai lapisan tentang pemerintahan di (kota) Pariaman, sulit untuk tidak mendengar nama Bupati Anas Malik yang memang pernah mendobrak “culture” kepemimpinan. Baik tingkat daerah, provinsi maupun nasional. Beliau yang sudah almarhum teramat fenomenal, prototype yang sulit untuk ditemukan bagi Kota Pariaman.

Karena Anas Malik lah baru yang dianggap “sangat berhasil” lulus “cum laude” sebagai pemimpin yang diakui oleh Orang Pariaman. Bahkan, pernah bertemu sejumlah orang yang dimasa dia menjadi Bupati tak mengakui bentuk kepemimpinannya, kini akhirnya justru mengakui dengan jujur setelah melihat kenyataan terhadap Pariaman.

Pernah di saat Pilkada waktu silam, ada calon mengusung foto/nama Anas Malik tapi dinilai banyak kalangan kini, sama sekali tak ada ditemukan “makan tangannya” searoma Anas Malik. Jauh dari konsep pembangunan dan kepemimpinan berkelanjutan. Masih kuatnya figure Anas Malik, mampu memahami karakter dan mengendalikan dengan gagasan keberanian, tampaknya yang bisa menjadi pemimpin masyarakat Kota Pariaman ke depan.

Jika tidak, bisa saja Calon menang dalam Pilkada 2013 tapi akan tetap saja pemimpin kalah di masyarakatnya sendiri. Ia hanya terpilih sebagai Walikota untuk pegawainya saja. Untuk masyarakat tidak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar