SYU”AIB bin Harb berkata: “Jangan menyepelekan uang receh (fulus)
yang engkau dapatkan dengan cara menaati Allah di dalamnya. Bukan uang
receh itu yang akan digiring (menuju Allah), akan tetapi ketaatanmu.
Bisa jadi dengan uang receh itu engkau membeli sayur-mayur, dan tidaklah
ia berdiam di dalam rongga tubuhmu hingga akhirnya dosa-dosamu
diampuni.” (al-Hatstsu ‘ala at-Tijarah wa ash-Shina’ah, karya Abu Bakr al-Khallal).
Dari pesan di atas bisa diambil benang merah jika baik buruknya suatu
perkerjaan di mata Allah bukanlah dinilai dari besar kecilnya gaji yang
diperoleh, akan tetapi dari cara kita melakukannya. Pertanyaan mendasar
yang harus dicamkan adalah, “Apakah Allah ridha dengan pekerjaan saya
ini?” Inilah cara berpikir seorang Muslim, sebagaimana diajarkan
Nabinya; bukan menuruti logika materialis ateis yang hanya mengedepankan
pragmatisme.
Cara berpikir pragmatis tak bertuhan inilah yang membuat sebagian orang dengan berani menyebut perzinaan sebagai “pekerjaan”, seolah-olah hendak menyamakannya dengan profesi guru, petani, pedagang, advokat atau birokrat. Bukankah sebagian besar kita telah terbiasa menyebut PSK (Pekerja Seks Komersial), dibanding menyebut pelacur atau pezina? Astaghfirullah!
Bekerja mendapatkan rezeki yang halal adalah kebajikan, apapun bentuk dan derajatnya di mata manusia. Bahkan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menjadikannya sebagai salah satu kewajiban bagi umatnya. Beliau bersabda, “Mencari yang halal adalah kewajiban setiap Muslim.” (Riwayat Thabrani dalam al-Awsath, dari Anas bin Malik. Menurut al-Haitsami: isnad-nya hasan).
Dengan
demikian, pekerjaan yang halal sama dengan beribadah. Setiap tetes
keringat akan dihargai dengan pahala berlipat ganda. Apapun yang
dihasilkannya menjadi berkah, dan semakin menguatkan tali perhubungan
dengan Sang Pencipta. Rasulullah bersabda,
“Sungguh, tidaklah engkau memberikan nafkah yang dengan itu engkau mengharapkan wajah Allah, melainkan engkau pasti diberi pahala, bahkan terhadap (sesuap makanan) yang engkau suapkan ke mulut istrimu.” (Riwayat Bukhari dan Muslim, dari Sa’ad bin Abi Waqqash).
“Sungguh, tidaklah engkau memberikan nafkah yang dengan itu engkau mengharapkan wajah Allah, melainkan engkau pasti diberi pahala, bahkan terhadap (sesuap makanan) yang engkau suapkan ke mulut istrimu.” (Riwayat Bukhari dan Muslim, dari Sa’ad bin Abi Waqqash).
Pekerjaan kasar yang mengandalkan otot sama mulianya dengan pekerjaan intelektual, asalkan halal. Dan, tentu saja bekerja jauh lebih baik dibanding mengemis, bagaimana pun caranya.
Anas bin Malik bercerita, bahwa seseorang dari kaum Anshar datang kepada Nabi untuk meminta-minta. Beliau pun bertanya, "Tidak
adakah sesuatu apa pun di rumahmu?" Ia menjawab, “Ya, ada. Kain alas
pelana yang sebagian kami buat pakaian dan sebagian lagi kami hamparkan
(untuk tikar), serta gelas besar yang kami gunakan untuk minum.” Beliau
bersabda, "Bawalah keduanya kepadaku." Ia kemudian membawanya. Beliau
mengambilnya dengan tangan beliau dan berkata, "Siapa yang mau membeli
kedua barang ini?" Seorang laki-laki berkata, “Saya membelinya dengan
satu dirham.” Beliau berkata, "Siapa yang menambah lebih dari satu
dirham?" Beliau mengatakannya dua atau tiga kali. Seorang laki-laki
berkata, “Saya membelinya dengan dua dirham.” Kemudian beliau
memberikannya kepada orang tersebut, dan mengambil uang dua dirham.
Beliau memberikan uangnya kepada orang Anshar itu dan bersabda, "Belilah
makanan dengan satu dirham kemudian berikan kepada keluargamu, dan
belilah (mata) kapak lalu bawalah kepadaku." Orang itu membawa (mata)
kapaknya kepada Nabi, lalu mengikatkan sebatang kayu padanya dengan
tangan beliau sendiri. Beliau bersabda, "Pergilah, kemudian carilah kayu
dan juallah. Jangan sampai aku melihatmu selama lima belas hari." Orang
itu pun pergi mencari kayu serta menjualnya, lalu datang lagi dan telah
memperoleh uang sepuluh dirham. Sebagian ia belikan pakaian, sebagian
lagi makanan. Kemudian Rasulullah bersabda, "Ini lebih baik bagimu
daripada sikap meminta-minta itu kelak berubah menjadi noktah di wajahmu
pada Hari Kiamat. Sungguh, meminta-minta itu tidak layak kecuali bagi
tiga (jenis) orang, yaitu: orang fakir yang sangat melarat, atau orang
yang terbebani hutang sangat berat, atau orang yang menanggung diyat
(biaya tebusan atas pembunuhan) sementara ia tidak mampu membayarnya." (Riwayat Abu Dawud dan Ibnu Majah).
Sebaliknya, pekerjaan yang terkesan mentereng dan bergaji besar,
sangat boleh jadi hanya akan menjadi beban dosa dan kehinaan jika tidak
diridhai Allah. Dari waktu ke waktu hanya akan memicu kegersangan,
kekacauan, dan berakhir sebagai siksa tak terperikan. Semakin digeluti
semakin menggelisahkan, sebab dosa-dosanya semakin menumpuk. Dalam
tafsir Zaadul Masir dikatakan bahwa pekerjaan yang haram adalah
bagian dari siksa Allah, yaitu “kehidupan yang sempit” sebagai akibat
dari kelalaian, keberpalingan, dan meninggalkan tuntunan Allah.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكاً وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى
قَالَ رَبِّ لِمَ حَشَرْتَنِي أَعْمَى وَقَدْ كُنتُ بَصِيراً
قَالَ كَذَلِكَ أَتَتْكَ آيَاتُنَا فَنَسِيتَهَا وَكَذَلِكَ الْيَوْمَ تُنسَى
“Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya
baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada
Hari Kiamat dalam keadaan buta. Berkatalah ia: "Ya Tuhanku, mengapa
Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya bisa
melihat?" Allah berfirman: "Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat
Kami, maka kamu melupakannya, dan begitu (pula) pada hari ini kamu pun
dilupakan." (QS: Thaha [20]: 124-126).
Dengan kata lain, menurut Islam, kehidupan yang lapang, pertama-tama
bukan diukur dari lapangnya materi, namun dari aspek keselarasan
kehidupan itu dengan tuntunan Allah. Baru setelahnya, aspek-aspek lain
mengikuti. Entah melarat atau kaya-raya, jika kehidupan seseorang tidak
sejalan syari’at, maka layak disebut sebagai “kehidupan yang sempit”.
Sama juga, apakah fakir atau serba berkecukupan, kehidupan yang
mengikuti aturan Allah adalah “kehidupan yang lapang”. Wallahu a’lam.* (M. Alimin Mukhtar, pengajar di Ar-Rahmah Boarding School, Pesantren Hidayatullah Malang)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar