Minggu, 30 Desember 2012

Di Bawah Ibnu Sutowo, Pertamina Sempat Dianggap 'Negara dalam Negara'

Di Bawah Ibnu Sutowo, Pertamina Sempat Dianggap 'Negara dalam Negara'

Rista Rama Dhany - detikfinance
Minggu, 30/12/2012 13:50 WIB
Jakarta - Pada Ulang Tahun ke-55, PT Pertamina (Persero) kembali mengenang sosok Ibnu Sutowo sebagai Direktur Utama PT Pertamina yang pertama. Melalui buku Ibnu Sutowo " Saatnya Saya Bercerita!", diungkapkan adanya tudingan korupsi skala besar di Pertamina pada waktu Orde Baru.

Ibnu bercerita, pada 1974 Pertamina tertimpa kemelut, pergolakan politik sedang marak, para mahasiswa berdemo sebagai oposisi pemerintah.

Pada 15 Januari 1974 yang dikenal sebagai Peristiwa Malari, protes para mahasiswa terhadap kunjungan PM Jepang Tanaka berakhir dengan pembakaran terhadap perusahaan-perusahaan Jepang, mobil-mobil Jepang, juga terhadap Pasar Senen.

Menurut Ibnu dalam bukunya tersebut, mahasiswa tidak puas dengan dominasi Jepang atas kehidupan ekonomi di Indonesia. Menurutnya Pertamina menjadi "kambing hitam" dari kondisi tersebut.

Saat itu sasaran ketidakpuasan ditumpahkan ke alamat asisten-asisten pribadi (Aspri) Presiden Soeharto, Ali Moertopo dan Sudjono Humardani termasuk dirinya sebagai Dirut Pertamina.

Saat itu kata Ibnu, Pertamina dituduh melakukan korupsi berskalaa besar. Sejumlah koran seperti Indonesia Raya, Operasi, Sinar Haparan mempertanyakan Pertamina mau mendirikan "negara dalam negara". Hal ini karena organisasi Pertamina makin lama makin besar, tidak mau tunduk para peraturan pemerintah.

"Semua yang dikerjakan oleh Pertamina, termasuk proyek-proyek besar seperti Pabrik Pupuk, Krakatau Steel, Pulau Batam, tentu ini dibicarakan dengan Presiden, dan dilakasanakan atas persetujuan Presiden Soeharto," tulis Ibnu dalam bukunya yang dikutip detikFinance, Minggu (30/12/2012).

Tudingan muncul, ketika ia membuat perjanjiam baru mengenai pinjaman jangka panjang selama 20 tahun senilai US$ 1,7 miliar. Pinjaman itu dianggap Ibnu sudah pasti, untuk mengerjakan proyek-proyek seperti Krakatau Steel, Batam, karena untuk menggunakan dana dari pemerintah waktu itu tidak ada.

Namun ternyata tidak disangka ternyata utang jangka panjang yang perjanjianya sudah diteken olehnya tidak bisa dicairkan. "Maka kacaulah kami," kata Ibnu. Kenapa pinjaman tidak cair "Saya tidak tahu," lanjutnya.

Situasi inilah yang diisebut Ibnu sebagai "Krisis Pertamina" dan akhirnya membuat Ibnu Sutowo berhenti sebagai Dirut Pertamina pada tanggal 9 Maret 1976, ia digantikan oleh Piet Haryono. Menurutnya pelengseran dirinya tersebut dengan cara tidak elok dan mengecewakan sekali baginya.




(rrd/hen) (pks parsel)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar