Sabtu, 12 Januari 2013
Jakarta - Angelina Sondakh divonis 4,5 tahun oleh pengadilan.
Menurut anggota komisi III FPKS, Aboe Bakar Al-Habsy, vonis Angie
menunjukkan gap besar jika dibandingkan dengan kasus Rasminah yang
divonis 140 hari karena mencuri buntut sapi dan piring.
"Bila disandingkan dengan dengan vonis nenek Minah yang mencuri piring,
sepertinya ada gap yang besar. Rasminah divonis 140 hari penjara karena
mencuri 1 kilogram buntut sapi dan 6 piring, berapa sih harganya? Coba
bandingkan dengan kerugian negara pada kasus nggelina yang mencapai
12,58 miliar rupiah dan 2,35 juta dollar AS," kata anggota komisi III
FPKS Aboe Bakar Al-Habsy dalam pesan singkat, Jumat (11/1/2013).
"Hakim sepertinya tidak menengok argumen kerugian negara dalam kasus
Angie. Dari putusan yang dibacakan, terlihat pula semangat majelis hakim
yang memandang pemberantasan korupsi sebatas memberikan efek jera
terhadap koruptor. Belum ada semangat untuk mengembalikan kerugian
negara atau pemiskinan para koruptor," lanjutnya.
Menurut Aboe, majelis hakim tidak mengenakan pasal 18 UU Tipikor merujuk
pada UNODC (United Nations Office on Drugs and Crime), sehingga hanya
denda Rp 250 juta saja. Ini bisa menjadi preseden tidak baik bagi
pemberantasan korupsi di Indonesia.
"Bayangkan saja kerugian negara mencapai 12,58 miliar rupiah dan 2,35
juta dollar AS, namun hanya dikembalikan ke negara dengan denda Rp 250
juta saja. Saya rasa bila KPK konsisten, mereka akan banding atas
putusan tersebut," tegasnya.
Meski demikian, ia mengapresiasi hakim yang sudah menggunakan data
elektronik sebagai barang bukti yang sah, namun ia heran ketika "menjadi
berbagai pembicara" menjadi faktor meringankan, karena tidak ada
relevansinya dengan tindak pidana itu sendiri.
"Bukankah pertimbangan dalam putusan seharusnya menyangkut langsung
dengan materi perkara? Sesuai dengan pasal 18 UU Tipikor yang merujuk
pada UNODC, bila dalam pertimbangannya hakim menyatakan bahwa uang suap
tidak berasal dari uang negara, tapi dari korporasi sebagai alasan tidak
perlu penyitaan dan pengembalian uang negara, ini adalah logika yang
sesat," kritiknya.
"Karena dalam beberapa kasus yang sudah terbukti di pengadilan kasus
korupsi menggunakan sistem ijon, di mana korporasi mengeluarkan uang
terlebih dahulu untuk mendapatkan proyek. Kalau dalam kasus ini biasanya
oleh Mindo dan kawan-kawan disebut sebagai biaya proyek, yaitu anggaran
untuk menggiring proyek agar bisa memenangkan tender," ucap Aboe.
Nah, bila logika itu yang dipakai, maka hanya pemilik korporasi saja
yang akan kena delik korupsi, karena merekalah yang menggunakan uang
negara.
"Hampir pada semua perkara korupsi pastilah pejabat negara mendapatkan
uang dari korporasi, bukan dari uang negara secara langsung," kata
politisi PKS itu.
*http://news.detik.com/read/2013/01/11/123655/2139523/10/politisi-pks-dibanding-kasus-nenek-minah-vonis-angie-ada-gap-besar (fadilah ketua dpc pks pariaman selatan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar