Dr. Saiful Bahri, M.A*
Pertarungan dan benturan (clash) antara kebenaran dan kebatilan
akan terus berlangsung sampai akhir zaman. Sebagian kebatilan menjasad
dalam kezhaliman. Karena itulah, al-Quran terus mengulangi kisah
perlawanan terhadap kezhaliman ini. Baik kezhaliman eksternal maupun
kezhaliman internal.
Meski tidak menjadi satu-satunya representasi kezhaliman, kisah Firaun
seiring dijadikan kaca cermin untuk menilik akhir cerita dari sebuah
rezim kezhaliman. Secara khusus cerita Firaun – Musa mendominasi
kisah-kisah al-Quran. Ini adalah bentuk perlawanan kezhaliman eksternal.
Setelah usainya kisah antagonis tersebut ada babak baru yang dijalani
Bani Israil. Kisah ini panjang terurai sejak dari surat al-Baqarah
sampai surat-surat setelahnya di dalam al-Quran.
Mengapa cerita perseteruan dua kubu tersebut selalu ada. Di mana pun,
kapan pun dan diperankan oleh siapapun? Seolah keduanya menjadi salah
satu sisi dari dua sisi mata uang logam.
Kisah perseteruan abadi ini setidaknya bisa kita baca dalam Firman Allah berikut:
وَكَذَلِكَ
جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ الْإِنسِ وَالْجِنِّ
يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُورًا ۚ وَلَوْ
شَاءَ رَبُّكَ مَا فَعَلُوهُ ۖ فَذَرْهُمْ وَمَا يَفْتَرُونَ
Artinya:
“Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu
syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin, sebahagian
mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang
indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya
mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang
mereka ada-adakan.” (QS. Al-An’am [6]:112)
Setiap nabi yang diutus Allah di bumi untuk menyampaikan risalah
tauhid-Nya maka akan selalu ada tokoh antagonis utama yang akan
menentang mereka. Mereka disebut al-Quran dengan nama “syayathîn”
(setan-setan). Dalam firman di atas –menariknya- dideskripsikan dengan
detil jenis mereka. Yaitu setan dari kalangan jin dan manusia yang
saling bekerjasama dan berbisik di antara mereka untuk menghalau dan
menghalangi misi risalah para nabi.
Ciri utama mereka yaitu membuat “ifitrâ” (mengada-ada, mendustakan dan
mengelabuhi). Dan ini menjadi ruh serta spirit perlawanan mereka serta
secara kontinyu disampaikan antar mereka dan antar generasi. Sehingga
saat seorang nabi diutus ke bumi oleh Allah maka yang akan menjadi
musuhnya adalah setan dari dua alam. Setan yang berjenis manusia serta
setan yang berjenis jin.
Setan-setan tersebut, baik dari kalangan manusia dan jin selalu
menebarkan kebencian mereka kepada nabi Allah serta para penerus
risalahnya. Maka mereka akan senantiasa menyusup dalam setiap pertikaian
dan perseteruan. Memanfaatkannya untuk mendesak para penerus risalah
kenabian.
Ada sebuah ideologi dalam setiap pertarungan besar. Meski disamarkan tetap akan terungkap dan bisa diketahui oleh banyak orang.
Demikian halnya setiap kezhaliman yang muncul maka itu adalah ideologi
kebatilan yang sedang berusaha menghancurkan kebenaran. Menindas habis
dan memberangus para pembelanya serta orang-orang memperjuangkannya.
Sangat naif untuk dikatakan bahwa yang terjadi di Palestina bukanlah
pertarungan antara haq dan bathil. Dari sudut pandang humanis saja sudah
bisa disimpulkan bahwa ada kezhaliman dipertontonkan dan dipertunjukkan
serta disamarkan menjadi sebaliknya. Sebutlah satu persatu bukti
tersebut: pengusiran paksa atas penduduknya, penangkapan, agresi
militer, pembangunan pemukiman-pemukiman Zionis secara ilegal. Lebih
dari itu hal-hal yang tersebut tadi tidaklah ada artinya tanpa
pendudukan dan penjajahan terhadap tanah suci Al-Quds. Dan termasuk di
dalamnya, Masjid al-Aqsha. Pelan namun pasti sejarah dipalsukan dan
kebenarannya dihapuskan untuk kemudian dimonopoli dengan sebuah hegemoni
keangkuhan dan perampasan kedaulatan yang sah serta merenggut
kebebasan. Umat Islam tak lagi mengenal lagi “Hâ’ith Burâq” (tembok
tambatan Buraq) dan pintu Maghâribah. Karena tempat tersebut sudah
dirampas secara paksa oleh Zionis Israel dan dijadikan “tembok ratapan”
tempat mengirim doa-doa dan memanjatkan permohonan bagi orang-orang
Yahudi.
Mimbar bersejarah yang dibuat oleh Sultan Nuruddin Az-Zanky dua puluh
tahun sebelum ditaklukkannya al-Quds oleh Shalahuddin. Adalah simbol
keteguhan dan spirit tanpa menyerah untuk mengambil alih kembali hak
yang dirampas. Sayangnya, pada tahun 1969 mimbar tersebut dibakar dan
kemudian hanya menyisakan luka setiap kita mengingat kejadiannya.
Terdapat jutaan orang terusir dari tempat kelahirannya. Terkatung-katung
di negeri orang. Meski sebagian mendapat penerimaan baik, namun
seenak-enak tinggal di tempat asing tidaklah senyaman berada di rumah
sendiri. Pemukiman-pemukiman sementara itu lantas menjelma tempat
“abadi”. Bertahun-tahun para pengungsi itu hidup di sana. Sebagian
kemudian meninggal di sana. Sebagian bertemu jodoh dan berketurunan di
sana.
Yang masih berada di kota-kota tua merasakan setiap malamnya adalah
ancaman penangkapan dan pengusiran. Jika ada seorang lelaki yang
diringkus oleh serda-serdadu kezhaliman, maka seolah harapan untuk
kembali ke rumah nyaris tiada. Terutama jika ia beridentitas
“al-Maqdisy” (penduduk al-Quds). Jika ia tak memilih hijrah meninggalkan
kotanya. Maka saat ia ditangkap itu berarti ia takkan kembali ke sana.
Sebagian tertekan hidupnya secara ekonomi harus terhimpit pajak-pajak
kezhaliman yang menindasnya. Anak-anak muda dipersulit mendapatkan
pekerjaan yang menghasilkan upah laik untuk sekedar menyambung hidupnya
juga hidup keluarganya.
Semuanya tidak terjadi begitu saja. Ada kezhaliman yang menginginkan hal
itu terjadi. Kesatuan ideologi kebathilan inilah yang terus membiarkan
Gaza terus berada dalam blokade dan terisolir dari dunia luar. Sekaligus
memisahkannya dari Tepi Barat serta mengadu domba antar mereka yang
sedang diamanahi rakyat untuk mengelola keterbatasan tersebut.
Perbedaan latar belakang dan cara berinteraksi menjadikan faksi-faksi
yang ada di dalamnya “seolah” pecah serta tak mampu padu. Dikarenakan
sebagian mengambil jalan perundingan yang dijanjikan “sang penjajah”.
Sebagian lagi melihat bahwa jalan “perlawanan” adalah bahasa yang tepat
untuk mengusir “kezhaliman” dari negeri yang diberkahi tersebut.
Sebenarnya kedua faksi besar di atas bisa bergabung menjadi kekuatan
yang ditakuti musuh-musuhnya. Sayangnya itu belum terjadi lagi saat ini.
Karena berbagai faktor dan sebab.
Jika ada aksi perlawanan maka sejatinya itu bahasa yang sedang
ditunjukkan merespon berbagai jenis kezhaliman yang terjadi dan
didiamkan oleh sebagian besar penduduk dunia. Atau kalaupun direspon
maka respon yang ada tidak berpengaruh banyak pada mentalitas para
penjajah yang acuh dengan keputusan apapun. Pemukiman-pemukiman ilegal
tetap saja berjalan meski menuai cela dan dikecam orang seluruh dunia.
Agresi militer dan penangkapan tak manusiawi tergadap para aktivis
perlawanan tetap saja terjadi ditengah protes dunia yang bertubi-tubi.
Umat Islam pada dasarnya tak pernah lebih menyukai untuk memilih
pertempuran atau benturan fisik. Karena hal tersebut sangat merugikan.
Tapi jika keadaan yang memaksa demikian maka tidaklah mungkin untuk
mundur apalagi menyerah.
Karena Islam sangat menyintai kedamaian dan ketenangan serta kedamaian.
Setiap dua orang atau dua kelompok dari umat Islam bertemu dianjurkan
untuk saling bertegur sapa dan memulainya dengan ucapan salam “as-salâmu
alaikum warahmatulLâhi wa barakâtuh”. Mengingatkan misi kedamaian agama
Islam sekaligus doa untuk orang yang ditemuinya. Demikian halnya dalam
ritual shalat kita bisa melihat, kata yang diucapkan untuk mengakhiri
shalat adalah “salâm” (kedamaian) dan “rahmah” (kasih sayang). Allah
juga menyediakan “rumah kedamaian” (dâr as-salâm) di surga-Nya seperti
tutur al-Quran berikut:
“Allah menyeru (manusia) ke Darussalam (surga), dan menunjuki orang yang
dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus (Islam).” (QS. Yunus [10]: 25).
Islam menegaskan sebagai agama damai serta menjadikannya sebagai salah
satu unsur penting serta prinsip dasar dalam al-Quran serta sebagai
cahaya penerang. Al-Quran menamakannya sebagai jalan kedamaian dan
keselamatan “subul as-salâm”. Firman Allah:
يَهْدِي
بِهِ اللَّهُ مَنِ اتَّبَعَ رِضْوَانَهُ سُبُلَ السَّلَامِ وَيُخْرِجُهُم
مِّنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ بِإِذْنِهِ وَيَهْدِيهِمْ إِلَىٰ
صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ
“Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti
keridhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah
mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang
benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus.”
(QS. Al-Maidah [5]: 16).
Salah satu dari sekian nama-nama Allah adalah “as-Salâm”
“Dialah Allah Yang tiada Tuhan selain Dia, Raja, Yang Maha Suci, Yang
Maha Sejahtera, Yang Mengaruniakan Keamanan, Yang Maha Memelihara, Yang
Maha Perkasa, Yang Maha Kuasa, Yang Memiliki segala Keagungan, Maha Suci
Allah dari apa yang mereka persekutukan.”
(QS. Al-Hasyr [59]: 23)
Dalam kondisi tenang dan damai tidak berarti membuat seorang mukmin
menjadi terlena. Ia harus terus menempa ketahanan dirinya serta siap dan
waspada terhadap setiap serangan yang membahayakan dirinya. Karena
orang yang nyaman dan merasa aman karena merasa berada dalam zona aman
dan damai cenderung terlena sehingga tidak siap terhadap keadaan
terburuk yang mungkin saja bisa terjadi.
Itulah barangkali rahasia yang terungkap dalam Firman Allah yang
menyebutkan kuda-kuda dengan berbagai kondisinya dalam surat al-‘Âdiyât
berikut:
“Demi kuda perang yang berlari kencang dengan terengah-engah, dan kuda
yang mencetuskan api dengan pukulan (kuku kakinya), dan kuda yang
menyerang dengan tiba-tiba di waktu pagi, maka ia menerbangkan debu, dan
menyerbu ke tengah-tengah kumpulan musuh.” (QS. al-‘Âdiyât [100]: 1-5)
Sebagai pendukung dalam firman Allah berikut:
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu
sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan
persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang
orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah
mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya
akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya
(dirugikan).” (QS. Al-Anfal [8]: 60)
Kata “kuda-kuda yang ditambat” mengindikasikan bahwa umat Islam dalam
kondisi apapun senantiasa harus siap secara mental serta fisik untuk
mengantisipasi kondisi “terburuk” sekalipun. Untuk memberi efek psikis
pada musuh-musuh yang selalu mengintai (lebih detil bisa dilihat dalam
tulisan sebelumnya: PSY WAR)
Hal-hal di atas mengindikasikan perlunya membangun kekuatan citra
persatuan dan kualitas pertahanan yang baik umat Islam. Agar para
pengintai dan musuh berpikir berkali-kali untuk mempertontonkan
kezhaliman yang mereka timbulkan.
Sebagaimana perjuangan umat Islam di manapun disatukan oleh sebuah
ideologi, maka setiap kezhaliman sudah pasti akan didukung oleh
kezhaliman serupa. Karena orang-orang mazhlum pun dibela oleh sesamanya
yang juga orang-orang dizhalimi.
Itulah yang menjadikan orang-orang munafik bersaudara (ikhwan) dengan
orang-orang kafir dari kalangan ahli kitab untuk memerangi Rasulullah
SAW.
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang munafik yang berkata kepada
saudara-saudara mereka yang kafir di antara ahli kitab: “Sesungguhnya
jika kamu diusir niscaya kamipun akan keluar bersamamu; dan kami
selama-lamanya tidak akan patuh kepada siapapun untuk (menyusahkan)
kamu, dan jika kamu diperangi pasti kami akan membantu kamu”. Dan Allah
menyaksikan bahwa Sesungguhnya mereka benar-benar pendusta.” (QS.
Al-Hasyr [59]: 11)
Sebagaimana kaum muhajirin bersaudara dengan kaum anshar padahal
sebelumnya mereka adalah dua golongan berbeda yang bukan siapa-siapa,
tak ada ikatan nasab dan kesukuan sebelumnya.
Perseteruan yang haq dan batil –sekali lagi- tidaklah terjadi di antara
manusia. Karena setan itu menjelma dalam diri makhluk lain juga selain
manusia. Setan dalam bentuk jin dan dalam bentuk manusia. Kedua golongan
besar tersebut saling menopang kezhaliman yang mereka pertontonkan dan
dukung. Maka pertarungan yang kita hadapi adalah pertarungan dua alam.
Dan bisa jadi musuh kita adalah mereka yang tak terlihat baik oleh kasat
mata, “Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dan suatu
tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka.” (QS. Al-A’râf [7]:) atau
mereka yang selama ini kita kenal sebagai orang-orang dekat dengan kita,
namun mereka mengkhianatai nilai dan tujuan perjuangan kita.
Maka kekuatan fisik saja tak cukup untuk melawan jenis
kezhaliman-kezhaliman dua alam ini. Kita harus memohon kepada Allah
untuk mengalahkan mereka sekaligus tunjukkan tanda-tanda kekuasann-Nya
di depan para makhluk-Nya. Agar tetap ada jalan untuk bertaubat dan
kembali bagi mereka yang tersesat sebelumnya. WalLâhu al-Musta’ân.