By Neng Siti on Januari 9 2013
MUSIM
DINGIN 1990, putri kedua Laurence Brown lahir. Namun ternyata putrinya
mengalami gangguan kesehatan yang serius, terjadi penyempitan di
lengkungan pembuluh darah aortanya yang mengakibatkan peredaran darah
bayi itu tidak lancar.
Brown yang menyaksikan bagaimana tubuh
mungil putrinya membiru dari bagian dada sampai ujung kaki menyadari
bahwa outrinya harus dirawat di ruang perawatan intensif untuk bayi yang
baru lahir. Sebagai seorang dokter bedah, Brown sangat paham tindakan
medis apa yang akan dilakukan dokter terhadap putrinya. Tidak ada jalan
lain selain melakukan pembedahan darurat di bagian dada, meski tindakan
medis itu tidak memberikan peluang besar bagi puterinya untuk bertahan
hidup.
Ketika konsultan ahli bedah kardio-toraks yang
akan menangani putrinya datang, perasaan Brown campur aduk antara sedih
dan takut. Ia merasa tidak ada teman kecuali rasa takut, dan tidak ada
tempat untuk berbagi kesedihan. Sementara ia menunggu hasil pemeriksaan
konsultan, ia pergi ke ruangan tempat berdoa di rumah sakit itu dan
duduk bersimpuh.
Ia mengakui, bahwa itulah kali pertama dalam hidupnya ia berdoa dengan tulus dan sungguh-sungguh. Sebagai seorang atheis,
saat itulah pertama kalinya ia mengakui Tuhan dengan setengah hati
meski dalam keadaan panik. Ia berdo’a dalam keadaan tidak sepenuhnya
meyakini adanya Tuhan.
Dengan sikap skeptis Brown berdo’a. Dalam do’anya ia mengatakan “Tuhan,
jika Tuhan itu memang ada, Tuhan pasti akan menyelamatkan putri saya,
saya berjanji akan mencari dan mengikuti agama yang paling menyenangkan
hati-Nya,”.
Usai berdo’a, sekitar 10 sampai 15 menit
kemudian, Brown kembali ke ruang perawatan intensif putrinya dan sangat
kaget ketika mendengar penjelasan konsultan bedah yang mengatakan bahwa
putrinya akan baik-baik saja. Perkataan konsultan itu terbukti, dalam
waktu dua hari, kondisi bayi perempuan Brown menunjukkan kemajuan tanpa
harus diberi obat-obatan dan menjalani pembedahan. Bayi perempuan Brown
yang diberi nama Hannah itu selanjutnya tumbuh dengan normal seperti
anak-anak lainnya.
Setelah putrinya dinyatakan sehat, sekarang
giliran Brown yang harus memenuhi janjinya di depan Tuhan, saat ia
berdoa memohon keselamatan Hannah. Ia mengatakan, sebagai seorang
atheis, mudah bagi Brown untuk membangun kembali ketidakpercayaannya
akan eksistensi Tuhan, dan menyerahkan pemulihan putrinya pada dokter
dan bukan pada Tuhan. Tapi Brown tidak melakukan itu. Brown merasa bahwa
dalam perjanjian itu, Tuhan telah menunjukkan kebaikannya. Ia merasa
harus melakukan hal yang sama, karena Tuhan sudah mengabulkan do’anya.
Bertahun-tahun
lamanya Brown berusaha memenuhi “perjanjian”nya dengan Tuhan. Tapi ia
merasa gagal menemukan agama yang ingin ia peluk. Brown mempelajari Yudaisme, beragam aliran Kristen, tapi ia tidak pernah merasa bahwa ia telah menemukan kebenaran.
Dalam
perjalanannya mencari agama, ia telah mendatangi berbagai gereja aliran
Kristen. Dan yang paling lama, ia mengikuti jamaah gereja Katolik Roma,
namun secara resmi ia tidak pernah memeluk agama itu.
Ia mengaku
tidak pernah bisa memilih agama Kristen karena alasan sederhana; ia
tidak bisa menemukan kesesesuaian ajaran alkitab tentang Yesus dengan
ajaran dari berbagai sekte Kristen lainnya. Karena tidak menemukan agama
yang sesuai dengan hatinya, Brown akhirnya memilih berdiam diri di
rumah dan banyak membaca. Di masa-masa itulah, Brown mengenal Al-Quran
dan buku biografi Nabi Muhammad SAW. yang ditulis oleh Martin Lings,
dengan judul “Muhammad, His Life Based on Earliest Sources”.
Dari
Al-Quran yang dibacanya, Brown menemukan bahwa kitab suci umat Islam
mengajarkan kalau Tuhan itu hanya satu, dan nabi-nabi seperti Nabi Musa
dan Yesus (Nabi Isa) juga mengajarkan tentang keesaan Tuhan. Sebuah
konsep berbeda yang tidak pernah ia temukan dalam ajaran agama Yudaisme
dan Kristen yang sempat dipelajarinya bertahun-tahun. Setelah membaca
buku biografi Nabi Muhammad SAW. Brown juga mulai meyakini bahwa Nabi
Muhammad adalah nabi terakhir.
Brown merasa kalau semua begitu
masuk akal baginya. Kontinuitas rantai kenabian, turunnya wahyu, hanya
satu Tuhan yang Maha besar, dan lengkapnya wahyu-wahyu Allah dalam
Al-Quran, tiba-tiba ia merasakan sesuatu yang sempurna. Dan hal ini yang
kemudian menjadikan ia sebagai Muslim.
Lebih dari 10 tahun
Laurence Brown menjadi seorang muslim. Selama itu, ia belajar satu hal,
bahwa di luar sana banyak orang yang lebih cerdas dan pandai
dibandingkan dirinya, tapi orang-orang itu tidak mampu mengetahui
kebenaran Islam.
Brown juga mengatakan bahwa yang terpenting
bukanlah seberapa pintar seseorang, tapi sebuah pencerahan seperti yang
ditegaskan Allah SWT. bahwa mereka yang tidak percaya agama Allah, tetap
akan tidak percaya, meski diberi peringatan akan dosa. Jika demikian,
Allah juga akan mengabaikan mereka dan menjauhkan mereka dari
kebenaran-Nya. Ia juga sangat bersyukur pada Allah SWT. yang telah
memberinya petunjuk, dan ia memperkuat petunjuk itu dengan satu formula
yang sederhana yakni ‘mengakui adanya tuha, menyembah Allah semata
dengan sungguh-sungguh berjanji untuk mencari dan mengikuti kebenaran
ajaran-Nya. [ns/islampos/kisahmuallaf] (pks pariaman selatan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar