REP | 29 January 2013 |
Baru-baru ini saya menemukan kembali antologi Bukan di Negeri Dongeng
yang sudah lama sekali tidak saya lihat wujudnya. Buku antologi ini
pertama kali saya baca, kalau tidak salah ingat, di tahun 2007, saat
saya baru saja disahkan sebagai mahasiswa baru universitas terbaik di
negeri ini. Mungkin ada yang pernah baca? Mari saya bantu ingat, begini
kira-kira penampakan cover cetakan pertamanya:
Singkat cerita, Bukan di Negeri Dongeng adalah antologi
(kumpulan tulisan) yang dibuat oleh beberapa penulis ternama, Mbak Helvy
Tiana Rosa misalnya. Buku ini unik sebab ia menampilkan sisi lain dari
para pemimpin dan anggota dewan kita yang tidak tersorot media. Ditulis
dengan bahasa yang sederhana dan mengalir. Bahkan, beberapa penulisnya
adalah tetangga para tokoh buku itu sendiri. Mulai dari cerita pertama,
saya langsung jatuh cinta padanya.
Ada satu cerita yang terekam sangat baik di memori saya, entah kenapa.
Cerita itu tentang seorang anggota DPR yang ternyata suka dan mau
menggantikan istrinya berbelanja di tukang sayur. Sepertinya cerita
tersebut menjadi icon buku ini bagi saya, sebab jarang sekali
(pada saat itu) ada laki-laki kepala keluarga yang mau mengambil alih
tugas istrinya perihal urusan domestik rumah tangga. Apalagi, itu
tentang berbelanja di tukang sayur yang notabene biasanya dipenuhi
dengan ibu-ibu yang cerewet menawar harga sembari bertukar cerita.
Pemandangan yang amat jarang ditemui pastinya. Oh ya jangan lupakan,
tokoh cerita kita adalah seorang anggota DPR dan juga (belakangan saya
baca lagi di buku), juga seorang Ketua Cabang Partai Tertentu Sejahtera
(yang saat itu masih bernama Partai Tertentu, hehe..).
Selain berbelanja ke pasar, pemimpin kita ini ternyata juga amat
menyenangi sayur lodhe. Pernah suatu hari ia minta istrinya untuk masak
sayur lodeh. Begitu tahu proses memasak sayur lodeh memakan waktu yang
begitu lama, tokoh kita ini berkata, “Sudah Bu. Sekali ini saja.
Kalau tau prosesnya begini lama, Ayah tak akan meminta dibikinkan.
Daripada waktu demikian panjang hanya habis untuk membuat sayur, mending
buat baca atau mengerjakan yang lain.”
Ucapannya memang terlihat sederhana, tapi bagi saya sebagai kaum wanita
akan sangat terharu jika suami saya mengatakan hal serupa. Sebab
tersirat dari ungkapan itu bahwa tokoh ini sungguh memerhatikan dan
memberikan peluang luas bagi berkembangnya sang istri.
Belum lagi tambahan ‘bumbu’ cerita yang menurut saya menjadi penyedap
yang nikmat disantap di akhir kisah. Konon, pemimpin kita ini sering
diundang ceramah di berbagai daerah. Biasanya kita mengenal istilah
“amplop” yang diselipkan ke tangan penceramah seusai acara. Biasanya
juga, selipan itu ditambahi dengan pesan, “Sekedar buat ongkos, Ustadz..” atau “Buat uang rokok aja..”. Saya
haru membaca betapa amanahnya tokoh kita ini sehingga jika amplop yang
diberi pesan untuk ongkos, maka semuanya akan ia habiskan untuk ongkos
pulang. Tanpa sisa.
Saya sungguh merindukan sosok pemimpin seperti ini. Pemimpin yang
bersedia membagi tugas domestik dengan istri. Pemimpin yang menghargai
perempuan dan potensi potensinya. Juga pemimpin yang amanah, bahkan
hanya untuk sebuah “kalimat bersayap”. Sejak pertama kali membacanya,
sosok ini sudah menjadi standar suami ideal di benak saya.
Kisah itu sudah hampir lima tahun tidak saya baca. Gambar cover
nya saja saya hampir lupa. Baru kemarin-kemarin ini saya menemukan lagi
antologinya. Setitik air terbit di ujung mata saya saat membaca bahwa
tokoh kisah yang beberapa tahun ini melekat di ingatan ternyata adalah
Gubernur saya sendiri, Bapak Ahmad Heryawan.
(sumber: okezone.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar