Minggu, 17 Februari 2013

(Bukan) Pemimpin dari Negeri Dongeng


REP | 29 January 2013 |
Baru-baru ini saya menemukan kembali antologi Bukan di Negeri Dongeng yang sudah lama sekali tidak saya lihat wujudnya. Buku antologi ini pertama kali saya baca, kalau tidak salah ingat, di tahun 2007, saat saya baru saja disahkan sebagai mahasiswa baru universitas terbaik di negeri ini. Mungkin ada yang pernah baca? Mari saya bantu ingat, begini kira-kira penampakan cover cetakan pertamanya:
1359414279889755790
Singkat cerita, Bukan di Negeri Dongeng adalah antologi (kumpulan tulisan) yang dibuat oleh beberapa penulis ternama, Mbak Helvy Tiana Rosa misalnya. Buku ini unik sebab ia menampilkan sisi lain dari para pemimpin dan anggota dewan kita yang tidak tersorot media. Ditulis dengan bahasa yang sederhana dan mengalir. Bahkan, beberapa penulisnya adalah tetangga para tokoh buku itu sendiri. Mulai dari cerita pertama, saya langsung jatuh cinta padanya.
Ada satu cerita yang terekam sangat baik di memori saya, entah kenapa. Cerita itu tentang seorang anggota DPR yang ternyata suka dan mau menggantikan istrinya berbelanja di tukang sayur. Sepertinya cerita tersebut menjadi icon buku ini bagi saya, sebab jarang sekali (pada saat itu) ada laki-laki kepala keluarga yang mau mengambil alih tugas istrinya perihal urusan domestik rumah tangga. Apalagi, itu tentang berbelanja di tukang sayur yang notabene biasanya dipenuhi dengan ibu-ibu yang cerewet menawar harga sembari bertukar cerita. Pemandangan yang amat jarang ditemui pastinya. Oh ya jangan lupakan, tokoh cerita kita adalah seorang anggota DPR dan juga (belakangan saya baca lagi di buku), juga seorang Ketua Cabang Partai Tertentu Sejahtera (yang saat itu masih bernama Partai Tertentu, hehe..).
Selain berbelanja ke pasar, pemimpin kita ini ternyata juga amat menyenangi sayur lodhe. Pernah suatu hari ia minta istrinya untuk masak sayur lodeh. Begitu tahu proses memasak sayur lodeh memakan waktu yang begitu lama, tokoh kita ini berkata, “Sudah Bu. Sekali ini saja. Kalau tau prosesnya begini lama, Ayah tak akan meminta dibikinkan. Daripada waktu demikian panjang hanya habis untuk membuat sayur, mending buat baca atau mengerjakan yang lain.”
Ucapannya memang terlihat sederhana, tapi bagi saya sebagai kaum wanita akan sangat terharu jika suami saya mengatakan hal serupa. Sebab tersirat dari ungkapan itu bahwa tokoh ini sungguh memerhatikan dan memberikan peluang luas bagi berkembangnya sang istri.
Belum lagi tambahan ‘bumbu’ cerita yang menurut saya menjadi penyedap yang nikmat disantap di akhir kisah. Konon, pemimpin kita ini sering diundang ceramah di berbagai daerah. Biasanya kita mengenal istilah “amplop” yang  diselipkan ke tangan penceramah seusai acara. Biasanya juga, selipan itu ditambahi dengan pesan, “Sekedar buat ongkos, Ustadz..” atau “Buat uang rokok aja..”. Saya haru membaca betapa amanahnya tokoh kita ini sehingga jika amplop yang diberi pesan untuk ongkos, maka semuanya akan ia habiskan untuk ongkos pulang. Tanpa sisa.
Saya sungguh merindukan sosok pemimpin seperti ini. Pemimpin yang bersedia membagi tugas domestik dengan istri. Pemimpin yang menghargai perempuan dan potensi potensinya. Juga pemimpin yang amanah, bahkan hanya untuk sebuah “kalimat bersayap”. Sejak pertama kali membacanya, sosok ini sudah menjadi standar suami ideal di benak saya.
Kisah itu sudah hampir lima tahun tidak saya baca. Gambar cover nya saja saya hampir lupa. Baru kemarin-kemarin ini saya menemukan lagi antologinya. Setitik air terbit di ujung mata saya saat membaca bahwa tokoh kisah yang beberapa tahun ini melekat di ingatan ternyata adalah Gubernur saya sendiri, Bapak Ahmad Heryawan.
135941610776499613(sumber: okezone.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar