Selasa, 29 Januari 2013

Publikasi Hasil Survei Pilgub Jabar: Menyesatkan?

1358263241612254646
Ilustrasi/Admin (Baskoro Endrawan)
Pada 11 Januari 2013 lalu, LSN (Lembaga Survei Nasional) merilis hasil survei pilihan warga pemilih Kota Bandung terhadap lima pasangan Cagub-Cawagub Jabar (Jawa Barat). Survei yang dilakukan pada 12 sampai 26 Desember 2012 itu menempatkan pasangan Aher-Dedy Mizwar pada posisi pertama dengan tingkat elektabilitas 30,5 persen.
Kemudian disusul secara berurutan dibawahnya pasangan Dede Yusuf-Laksamana (23,6 persen), Rieke-Teten (22,7 persen), Yance-Tatang (13,4 persen), dan paling bawah ditempati pasangan Dikdik-Cecep (1,8 persen). Konon, survei tersebut bersampel 440 responden yang tersebar di 30 kecamatan di Kota Bandung, batas kesalahan (margin of error) 4 persen dengan tingkat kepercayaan (level of confidence) 95 %, dan teknik pengambilan sampelnya dilakukan secara acak berjenjang (multistage random sampling).
Sebagaimana biasa, publikasi hasil survei ditanggapi berbeda oleh para pihak yang disurvei. Ada yang menanggapi secara positif, ada pula yang tidak. Pihak yang mendapatkan hasil tertinggi, seperti Aher, memberikan tanggapan positif.
Sementara yang lain, menanggapinya secara dingin, bahkan negatif. Pihak Rieke-Teten yang diwakili ketua tim pemenangannya, Tubagus Hasanudin, menyatakan bahwa hasil survei tersebut tidak bisa dijadikan patokan atau tolok ukur (Merdeka.com, 12/1/2013). Tanggapan para pihak tersebut di atas adalah sesuatu yang lumrah.
Urgensi Survei
Sejatinya,  survei dibutuhkan para calon yang bertarung dalam kontestasi politik, seperti Pilgub Jabar, untuk mengetahui posisi diri dan lawannya serta preferensi pemilih secara obyektif. Dengan itu, para calon bisa merancang strategi dan taktik pemenangannya secara obyektif pula. Akan tetapi, dengan catatan bahwa survei yang dilakukan itu benar metodologinya, jujur, dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Prinsip dasarnya-pada survei yang benar-sampel (responden)  yang diambil harus benar-benar merepresentasikan populasi (pemilih) yang sebenarnya. Selain itu, responden tidak boleh diarahkan atau dipengaruhi siapapun dan suaranya (jawaban atas pertanyaan yang diajukan) harus dapat ditabulasikan secara benar.
Untuk itu, kejujuran peneliti survei dan tim pewawancara lapangan yang membantunya, mutlak diperlukan. Hanya survei yang berprinsip seperti itulah yang dapat dijadikan pegangan para calon.
Publikasi Sesat
Survei preferensi pemilih, popularitas dan elektabilitas para Cagub Jabar yang dilakukan LSN dengan hanya mengambil sampel di Kota Bandung adalah sesuatu yang tidak proporsional. Alasan yang dikemukakan Direktur Eksekutif LSN, Umar S. Bakry, dalam rilisnya bahwa survei dilakukan di Kota Bandung karena kota itu merupakan barometer Jabar (Republika, 11/1/2012), adalah hal yang tidak berdasar. Terdapat sejumlah alasan mengenai hal ini.
Pertama, masyarakat Jabar tidak homogen. Baik dari latar sosial budaya, ekonomi, maupun keterikatannya dengan partai politik. Kota Bandung hanya mewakili entitas masyarakat kota besar, bersifat urban, relatif terdidik, dan cenderung longgar ikatan politiknya.
Pilihan politik pada tipe masyarakat ini bisa berubah dengan drastis. Sebagai contoh, pada Pemilu 2004 Partai pemenang di Kota  Bandung adalah PKS dengan 11 kursi. Pemilu berikutnya, 2009, pemenangnya adalah Partai Demokrat dengan 20 kursi. Perolehan PKS pada Pemilu 2009 turun menjadi 9 kursi, sementara Partai Demokrat secara drastis meningkat, dari sebelumnya yang hanya 6 kursi. Tipe masyarakat kota kecil dan perdesaan tidak terwakili dalam survei LSN tersebut.
Kedua, Pemilih di Kota Bandung, bukan pemilih yang terbesar di antara 26 kabupaten/kota di Jawa Barat. Pemilih terbesar terdapat di Kabupaten Bogor. Jumlah pemilih di Kota Bandung, hanya 5 % dari total pemilih Pilgub Jabar 2013. Ketiga, dari sisi sebaran area survei, survei LSN tersebut hanya mengambil porsi 3,8 %. Secara metodologi tidak ideal.
Bahkan, ada yang menganggapnya salah. Idealnya, untuk populasi yang heterogen, sebaran area survei itu tidak boleh kurang dari 20 %. Untuk survei di Jawa Barat, idealnya di lakukan di minimal 6 kabupaten/kota.
Selain itu, rilis atau publikasi hasil survei mengenai elektabilitas calon-mendekati  waktu pemungutan suara-bukan sesuatu yang bebas nilai (value free). Kadang, juga tidak bebas kepentingan. Begitu pun pada publikasi hasil survei LSN. Kepentingan utama dari publikasi tendensius tersebut adalah mempengaruhi swing voters dan pemilih yang belum menentukan pilihannya (undecided voters).
Tipe pemilih demikian, dalam banyak Pemilukada berjumlah besar. Bahkan, kadang mayoritas. Harapannya, secara psikologi politik, tipe pemilih tersebut pada akhirnya berkeinginan menjadi bagian dari pemenang.
Dampaknya, derajat fairness dalam kontestasi Pemilukada menjadi berkurang. Lebih parah, bila lembaga survei mempublikasikannya secara tidak jujur. Sinyalemen itu disampaikan pimpinan salah satu lembaga survei cukup ternama di hadapan penulis di kantor pusat salah satu partai pemilik kursi di parlemen, terkait ketidaksamaan hasil survei dengan hasil Pemilukada DKI Jakarta 2012 lalu.
Ia menyatakan sebenarnya tahu bahwa Fauzi Bowo akan kalah. Namun, dipublikasikan menang dengan harapan swing voters dan undecided voters yang berjumlah besar di DKI Jakarta akan mengubah pilihannya dan memilih Fauzi Bowo. Kalau apa yang dikatakannya itu benar, maka publikasi hasil surveinya adalah sesat dan menyesatkan.
Publikasi hasil survei LSN tersebut di atas, jelas tidak merepresentasikan pemilih Pilgub Jabar 2013. Namun, apakah publikasinya masuk dalam kategori sesat dan menyesatkan, penulis serahkan penilaiannya pada sidang pembaca.
Semoga bermanfaat. Amien.  fadilah pks pariaman selatan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar