Pada 11 Januari 2013 lalu, LSN (Lembaga Survei Nasional) merilis hasil
survei pilihan warga pemilih Kota Bandung terhadap lima pasangan
Cagub-Cawagub Jabar (Jawa Barat). Survei yang dilakukan pada 12 sampai
26 Desember 2012 itu menempatkan pasangan Aher-Dedy Mizwar pada posisi
pertama dengan tingkat elektabilitas 30,5 persen.
Kemudian disusul secara berurutan dibawahnya pasangan Dede
Yusuf-Laksamana (23,6 persen), Rieke-Teten (22,7 persen), Yance-Tatang
(13,4 persen), dan paling bawah ditempati pasangan Dikdik-Cecep (1,8
persen). Konon, survei tersebut bersampel 440 responden yang tersebar
di 30 kecamatan di Kota Bandung, batas kesalahan (margin of error) 4 persen dengan tingkat kepercayaan (level of confidence) 95 %, dan teknik pengambilan sampelnya dilakukan secara acak berjenjang (multistage random sampling).
Sebagaimana biasa, publikasi hasil survei ditanggapi berbeda oleh para
pihak yang disurvei. Ada yang menanggapi secara positif, ada pula yang
tidak. Pihak yang mendapatkan hasil tertinggi, seperti Aher, memberikan
tanggapan positif.
Sementara yang lain, menanggapinya secara dingin, bahkan negatif. Pihak
Rieke-Teten yang diwakili ketua tim pemenangannya, Tubagus Hasanudin,
menyatakan bahwa hasil survei tersebut tidak bisa dijadikan patokan
atau tolok ukur (Merdeka.com, 12/1/2013). Tanggapan para pihak tersebut di atas adalah sesuatu yang lumrah.
Urgensi Survei
Sejatinya, survei dibutuhkan para calon yang bertarung dalam
kontestasi politik, seperti Pilgub Jabar, untuk mengetahui posisi diri
dan lawannya serta preferensi pemilih secara obyektif. Dengan itu, para
calon bisa merancang strategi dan taktik pemenangannya secara obyektif
pula. Akan tetapi, dengan catatan bahwa survei yang dilakukan itu
benar metodologinya, jujur, dan dapat dipertanggungjawabkan secara
ilmiah.
Prinsip dasarnya-pada survei yang benar-sampel (responden) yang
diambil harus benar-benar merepresentasikan populasi (pemilih) yang
sebenarnya. Selain itu, responden tidak boleh diarahkan atau
dipengaruhi siapapun dan suaranya (jawaban atas pertanyaan yang
diajukan) harus dapat ditabulasikan secara benar.
Untuk itu, kejujuran peneliti survei dan tim pewawancara lapangan yang
membantunya, mutlak diperlukan. Hanya survei yang berprinsip seperti
itulah yang dapat dijadikan pegangan para calon.
Publikasi Sesat
Survei preferensi pemilih, popularitas dan elektabilitas para Cagub
Jabar yang dilakukan LSN dengan hanya mengambil sampel di Kota Bandung
adalah sesuatu yang tidak proporsional. Alasan yang dikemukakan
Direktur Eksekutif LSN, Umar S. Bakry, dalam rilisnya bahwa survei
dilakukan di Kota Bandung karena kota itu merupakan barometer Jabar (Republika, 11/1/2012), adalah hal yang tidak berdasar. Terdapat sejumlah alasan mengenai hal ini.
Pertama, masyarakat Jabar tidak homogen. Baik dari latar
sosial budaya, ekonomi, maupun keterikatannya dengan partai politik.
Kota Bandung hanya mewakili entitas masyarakat kota besar, bersifat
urban, relatif terdidik, dan cenderung longgar ikatan politiknya.
Pilihan politik pada tipe masyarakat ini bisa berubah dengan drastis.
Sebagai contoh, pada Pemilu 2004 Partai pemenang di Kota Bandung
adalah PKS dengan 11 kursi. Pemilu berikutnya, 2009, pemenangnya adalah
Partai Demokrat dengan 20 kursi. Perolehan PKS pada Pemilu 2009 turun
menjadi 9 kursi, sementara Partai Demokrat secara drastis meningkat,
dari sebelumnya yang hanya 6 kursi. Tipe masyarakat kota kecil dan
perdesaan tidak terwakili dalam survei LSN tersebut.
Kedua, Pemilih di Kota Bandung, bukan pemilih yang terbesar di
antara 26 kabupaten/kota di Jawa Barat. Pemilih terbesar terdapat di
Kabupaten Bogor. Jumlah pemilih di Kota Bandung, hanya 5 % dari total
pemilih Pilgub Jabar 2013. Ketiga, dari sisi sebaran area survei, survei LSN tersebut hanya mengambil porsi 3,8 %. Secara metodologi tidak ideal.
Bahkan, ada yang menganggapnya salah. Idealnya, untuk populasi yang
heterogen, sebaran area survei itu tidak boleh kurang dari 20 %. Untuk
survei di Jawa Barat, idealnya di lakukan di minimal 6 kabupaten/kota.
Selain itu, rilis atau publikasi hasil survei mengenai elektabilitas
calon-mendekati waktu pemungutan suara-bukan sesuatu yang bebas nilai (value free).
Kadang, juga tidak bebas kepentingan. Begitu pun pada publikasi hasil
survei LSN. Kepentingan utama dari publikasi tendensius tersebut adalah
mempengaruhi swing voters dan pemilih yang belum menentukan pilihannya (undecided voters).
Tipe pemilih demikian, dalam banyak Pemilukada berjumlah besar. Bahkan,
kadang mayoritas. Harapannya, secara psikologi politik, tipe pemilih
tersebut pada akhirnya berkeinginan menjadi bagian dari pemenang.
Dampaknya, derajat fairness dalam kontestasi Pemilukada menjadi
berkurang. Lebih parah, bila lembaga survei mempublikasikannya secara
tidak jujur. Sinyalemen itu disampaikan pimpinan salah satu lembaga
survei cukup ternama di hadapan penulis di kantor pusat salah satu
partai pemilik kursi di parlemen, terkait ketidaksamaan hasil survei
dengan hasil Pemilukada DKI Jakarta 2012 lalu.
Ia menyatakan sebenarnya tahu bahwa Fauzi Bowo akan kalah. Namun, dipublikasikan menang dengan harapan swing voters dan undecided voters
yang berjumlah besar di DKI Jakarta akan mengubah pilihannya dan
memilih Fauzi Bowo. Kalau apa yang dikatakannya itu benar, maka
publikasi hasil surveinya adalah sesat dan menyesatkan.
Publikasi hasil survei LSN tersebut di atas, jelas tidak
merepresentasikan pemilih Pilgub Jabar 2013. Namun, apakah publikasinya
masuk dalam kategori sesat dan menyesatkan, penulis serahkan
penilaiannya pada sidang pembaca.
Semoga bermanfaat. Amien. fadilah pks pariaman selatan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar