Tampilkan postingan dengan label topik pilihan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label topik pilihan. Tampilkan semua postingan

Rabu, 13 Februari 2013

Naiklah Hingga ke Puncak


|

Kader dakwah yang tangguh
Ibarat mendaki sebuah gunung
Siap dan yakin akan sampai ke puncak

Walau segala ujian menghalangi
Kader yang tangguh harus siap menghadapi ujian dakwah ini
Walau cacian, walau makian menimpa
Harus siap menghadapinya dengan kesabaran

Kader dakwah yang tangguh
Takkan gentar dengan segala sindiran atau makian
Tetaplah yakin akan berada dalam jamaah ini
Jamaah yang Insya Alloh selalu dalam jalan kebaikan

Kader dakwah yang tangguh
Akan terus berjuang untuk mensyiarkan syariat Islam
Akan tetap kokoh dengan keyakinannya

Kader dakwah yang tangguh
Tetaplah mendaki menaiki puncak dakwah
Jangan pernah gentar dengan segala ujian yang menghadang

Yakinlah Alloh akan selalu bersama jamaah ini
Semoga setiap ujian yang kita alami
Memberikan Rahmat dan Karunia yang sangat berarti

Teruslah belajar dan belajar
Dalam perjuangan dakwah ini
Saatnya kita harus naik… naik.. dan terus naik.....

Selasa, 29 Januari 2013


Selasa, 29 Januari 2013


To be Doers!

Oleh Herry Nurdi*

Sering membayangkan periode-periode dalam Perang Mu’tah sebagai gambaran sebuah film kolosal, penuh tokoh-tokoh heroik dengan kejadian-kejadian yang spektakular. Zaid bin Haritsah bertempur dengan gagah berani, mengangkat tinggi-tinggi panji-panji, sekian banyak tombak yang menancap ditubuhnya. Dia terus maju memimpin, meski tombak dan panah mengucurkan darahnya. Akhirnya, panglima kaum Muslimin Zaid bin Haritsah jatuh juga ke tanah.
Panji-panji Rasulullah segera diambil oleh panglima kedua, Ja’far bin Abi Thalib. Dia bertempur dengan sangat berani. Memimpin pasukan yang hanya berjumlah ribuan, melawan tentara Romawi yang berhimpun lebih dari 200.000 orang. Tangan kanan Ja’far bin Abi Thalib, tertebas pedang. Kini tangan kirinya yang memegang panji-panji sambil terus memimpin pasukan. Lalu tangan kirinya pun, terpotong oleh lawan. Dengan pangkal lengannya kini Ja’far mempertahankan bendera. Akhirnya, Ja’far menemui syahidnya dengan cara mendekap panji dengan pangkal lengan yang sudah tak bertangan.
Abdullah ibn Rawahah kini mengambil alih kepemimpinan pasukan. Memang sempat terbetik galau dan ragu dalam hatinya. Tapi segera semua itu ditepisnya tak bersisa. Sudah sejak semalam, sesungguhnya Abdullah ibnu Rawahah tak makan. Di diberi sepotong daging oleh saudaranya, di tengah-tengah laga, ”Agar tegak tulang punggungmu menghadapi lawan.”
Tapi ketika dipegangnya daging yang hanya sekerat itu, Abdullah ibnu Rawahah merasa terlalu lama. ”Apakah kau masih sibuk dengan dunia?” pertanyaan itu memburunya. Kemudian dia pun maju mengangkat pedang, dan terbunuh di tengah pertempuran.
Disinilah muncul pertanyaan-pertanyaan besar di tengah peperangan. Rasulullah hanya berpesan, ”Angkatlah Zaid bin Haritsah sebagai panglima. Jika dia terkena musibah, Ja’far bin Abi Thalib yang akan menggantikannya. Dan kalau Ja’far bin Abi Thalib juga terkena musibah, Abdullah ibnu Rawahah yang akan menjadi panglima.” Itu saja pesan Rasulullah, tak ada pengganti setelah Abdullah ibnu Rawahah. Padahal kini ketiganya sudah meninggal dunia setelah bertempur dengan gagah.
Terjadi kekosongan pemimpin, dan tentu saja membuat situasi ricuh dan genting. Di tengah-tengan keadaan yang demikian rupa, Tsabit bin Arqam menangkap panji-panji Rasulullah yang tadi dipegang oleh Abdullah ibnu Rawahah. ”Wahai kaum Muslimin, inilah panji-panji Rasulullah! Pilihlah seorang pemimpin di antara kalian!”
Waktu terus berpacu, musuh terus menyerang. Sementara pasukan tak ada komandan. Mendengar teriakan Tsabit bin Arqan, pasukan kaum Muslimin justru menunjuknya sebagai panglima. ”Andalah orangnya!”
”Bukan aku. Aku tak bisa!” jawab Tsabit bin Arqam yang tahu benar menjadi panglima di tengah perang sama sekali bukan urusan gampang.
Kemudian pasukan kaum Muslimin menunjuk Khalid bin Walid sebagai panglima perang. Khalid segera mengambil panji-panji Rasulullah, dan bertempur dengan gigihnya. Dalam satu kesempatan, Khalid bin Walid pernah mengisahkan betapa dahsyatnya peperangan kala itu. ”Pada waktu Perang Mu’tah, ada sembilan pedang yang hancur di tanganku. Sampai-sampai yang tersisanya di tanganku hanyalah sepotong besi dari Yaman yang aku gunakan untuk berperang,” tuturnya.
Bayangkan, sembilan pedang ia gunakan. Satu per satu pedang hancur, karena lawan yang harus dihadapi memang bukan kepalang. Satu hancur, diambilnya pedang lain. Satu pedang lagi hancur, diambilnya pedang lain. Sampai-sampai yang tersisa hanya sepotong besi Yaman yang ia gunakan untuk berperang.
Dua pasukan bertempur dengan hebatnya sampai menjelang malam. Dan ketika malam, keduanya berhenti untuk mengambil jeda. Panglima Khalid bin Walid menarik pasukan untuk istirahat menjauh dari pasukan musuh. Pasukan Romawi pun tak mengejar, karena hari itu mereka mengalami pengalaman yang belum pernah dirasakan. Pertempuran gigih dari pasukan yang jumlahnya jauh lebih kecil dari kekuatan mereka yang besar.
Panglima Khalid bin Walid segera mengatur strategi yang diterapkannya esok hari. Semalam, sang panglima memerintahkan, agar pasukan yang berada di sayap kiri berpindah ke sayap kanan. Pasukan yang ada di garis belakang, kini maju menggantikan pasukan yang ada di garis depan. Dan ketika matahari pecah, dan dua pasukan kembali berhadap-hadapan, tentara Romawi melihat panji-panji baru di depan mereka. Tentara Romawi melihat wajah-wajah baru yang mereka hadapi hari ini. Mereka menyangka, kaum Muslimin mendapatkan bantuan 'tentara baru' semalam. Dan secara mental, hal ini telah menjatuhkan semangat perang mereka yang memang sudah kelelahan.
Ketika peperangan ini berakhir, dan pasukan Muslim kembali ke Madinah, dan pasukan Romawi tidak mengejarnya, para sejarawan mencatatnya sebagai kemenangan tersendiri antara pasukan yang berjumlah kecil dengan tentara Romawi yang hitungannya raksasa. Pasukan Muslimin kehilangan 12 orang pasukan yang syahid di medan laga. Sementara tentara Romawi mengalami kehilangan yang banyak sekali jumlahnya.

*** 

Lalu apa hubungannya kisah ini dengan muscle memory? Pernah dengar atau mengetahui apa itu muscle memory?
Muscle memory itu adalah ingatan yang ada dalam setiap jengkal tubuh kita. Setiap syaraf kita menyimpan ingatan-ingatan yang akan membantu segala aktivitas manusia. Salah satu contoh kecilnya adalah, saat kita memencet tuts telepon untuk menghubungi seseorang, ujung jari kita sudah hampir menghapal nomor-nomor siapa yang akan kita hubungi, tanpa perlu melakukan calling memory dari otak besar yang mengendalikan banyak hal. Inilah yang disebut muscle memory.
Khalid bin Walid memiliki muscle memory yang baik dalam hal berinisiatif melakukan sesuatu pada saat-saat yang penting dan genting. Dia memutuskan memimpin pasukan, mengambil alih tampuk panglima, mengatur strategi dan mengoordinir perlawanan. Hitungannya detik, tak bisa menunggu lama, apalagi untuk berpikir mendalam. Karena terlambat berarti kekacauan. Meski demikian, Khalid bin Walid memimpin pasukan dengan gemilang, cerdas, strategis dan penuh ketajaman analisa tentang kondisi lawan.
Tapi tentu saja, respon yang demikian cepat tidak datang tiba-tiba. Perlu pembiasaan dan latihan panjang, serta jam terbang. Dan itulah yang dilakukan oleh Khalid bin Walid sebelum mengambil tanggung jawab besar sebagai panglima pasukan. Dia memang seorang fields commander, komandan lapangan, berpengalaman dan memiliki pengetahuan luas yang mendalam tentang perang. Sehingga, ketika saatnya datang, seluruh tubuhnya bekerja. Setiap muscle dalam tubuhnya mengirimkan memory-memory untuk dijadikan bahan pertimbangan keputusan.
Begitu juga dengan kita, seharusnya. Kita harus melatih diri untuk melakukan perbuatan-perbuatan baik dan mencegah perilaku-perilaku mungkar. Agar setiap jengkal tubuh kita memiliki memory bagaimana harus bersikap dan mengambil keputusan tentang kebaikan atau pada saat menghadapi kemungkaran. Dan pada saatnya kita memimpin, dalam skala apapun, besar atau kecil, maka keputusan-keputusan kita memiliki orientasi yang baik dan benar.

*http://herrynurdi.com/2013/01/28/to-be-doers/  (fadilah dpcpks pariaman selatan)

nb: To be Do-ers ... Jadilah pelaku !!

Kamis, 17 Januari 2013

Menulis Itu Sehat dan Menyehatkan

Cahyadi Takariawan

Rubrik: Life Skill | Oleh: Cahyadi Takariawan - 18/01/13 | 12:30 | 05 Rabbi al-Awwal 1434 H
Ilustrasi (inet)
dakwatuna.com - Ada sangat banyak manfaat menulis, salah satunya adalah untuk menjaga kesehatan. Para ulama zaman dahulu telah menunjukkan semangat menulis, dan tidak ada kisah yang menyebutkan bahwa mereka menjadi sakit karena banyak menulis. Para ulama salaf justru hidup penuh berkah, di mana tulisan mereka mencerahkan umat manusia hingga akhir zaman. Dengan usia mereka yang terbatas, menulis membuat kemanfaatan ilmu mereka tidak terbatas.
Menulis Adalah Tradisi Para Ulama
Bagaimanakah semangat para ulama dalam menulis? Lihatlah contoh Imam Syafi’i. Beliau menulis di atas pelepah kurma, tulang unta, bebatuan dan kertas yang dibuang orang. Sampai suatu saat kamarnya penuh sesak dengan benda tersebut dan tidak dapat menjulurkan kakinya ketika tidur. Akhirnya, beliau menghafal semua catatan dan benda-benda tersebut dikeluarkan dari kamar. Karyanya yang terkenal adalah Al-Umm dan Ar-Risalah. Abu Manshur Muhammad bin Husain –karena kondisi beliau yang miskin– menulis pelajaran dan mengulangi bacaannya di bawah cahaya rembulan.
Imam Al-Bukhari tidur di atas tikar, bila terlintas di benaknya sebuah masalah, beliau bangun dari tidur, mengambil korek api dan menyalakan lampu, kemudian menulis hadits dan memberinya tanda. Hal ini bisa beliau lakukan 15 sampai 20 kali dalam satu malam. Semangat membara inilah yang melahirkan kitab monumental Shahih Bukhari, yang ditulis selama 16 tahun. Ibnu Hajar al-’Asqalani, menulis kitab Fathul Bari Syarah Shahih Bukhari berjumlah 17 jilid selama 29 tahun. Imam Abu Ubaid Al-Qasim bin Salam menulis kitab Gharibul Hadits selama 40 tahun.
Imam An-Nawawi wafat pada usia 45 tahun dan belum sempat menikah. Tapi kitab yang ditulisnya beratus ribu halaman. Di antara karya yang terkenal adalah Al-Majmu’ dan Minhajuth Thalibin. Ibnu Aqil adalah seorang ulama yang menulis kitab Al-Funun, sebuah ensiklopedia yang memuat beragam ilmu, terdiri dari 800 jilid. Imam Ad- Dzahabi berkomentar, ”Belum ada kitab di dunia ini yang lebih tebal dari Al Funun”. Selain Al-Funun, beliau juga mempunyai sangat banyak kitab lainnya.
Ibnu Jauzi adalah ulama yang sangat banyak menulis kitab dalam berbagai bidang ilmu. Ibnul Warid mengatakan, “Bila lembaran-lembaran buku yang berhasil ditulis oleh Ibnul Jauzi dikumpulkan, lalu dibandingkan dengan umur beliau, rata-rata beliau menulis dalam sehari sebanyak sembilan buah buku seukuran buku tulis.”  Karya Ibnul Jauzi mencapai 519 kitab.
Imam Muhammad bin Ali yang lebih dikenal dengan Asy-Syaukani, pengarang kitab Nailul Authar adalah seorang ahli tafsir, ahli hadits, ahli fiqih, dan ahli ushul fiqih. Beliau mewariskan 114 karya tulis. Imam Abdul Hayyi Al-Laknawi Al-Hindi pada usia 39 tahun telah menulis 110 kitab.
As-Sam’ani menceritakan bahwa Imam al-Baihaqi pernah tertimpa penyakit di tangannya, sehingga jari-jemarinya dipotong semua, hanya tinggal pergelangan tangan saja. Sekalipun demikian, beliau tidak berhenti menulis. Beliau mengambil pena dengan pergelangan tangannya dan meletakkan kertas di tanah seraya memeganginya dengan kakinya, lalu menulis dengan tulisan yang indah dan jelas. Demikianlah beliau melalui hari-harinya, sehingga setiap hari menulis kurang lebih sepuluh lembar. “Sungguh, ini adalah pemandangan sangat menakjubkan yang pernah saya lihat darinya,” kata As-Sam’ani.
Menulis Adalah Terapi
Hasil studi dari Karen Baikie, seorang clinical psychologist dari University of New South Wales dan hasil studi peneliti dari Universitas Texas, James Pennebaker, menunjukkan bahwa di antara manfaat menulis adalah bagian dari terapi kejiwaan. Menurut Karen Baikie, menulis tidak ada batasan usia, dan menuliskan peristiwa-peristiwa traumatik, penuh tekanan serta peristiwa yang penuh emosi bisa memperbaiki kesehatan fisik dan mental.
Dalam studinya, Baikie meminta partisipan menulis 3 sampai 5 peristiwa yang penuh tekanan selama 15 hingga 20 menit. Hasil studi menunjukkan, mereka yang menuliskan hal tersebut mengalami perbaikan kesehatan fisik dan mental secara signifikan. Menurut Baikie, dalam jangka panjang, terapi menulis bisa mengurangi kadar stres, meningkatkan fungsi sistem kekebalan tubuh, mengurangi tekanan darah, memperbaiki fungsi paru-paru, fungsi lever, mempersingkat waktu perawatan di rumah sakit, meningkatkan mood, membuat penulis merasa jauh lebih baik, serta mengurangi gejala-gejala trauma.
Terapi ini bermanfaat bagi orang yang memiliki berbagai masalah kesehatan. “Partisipan yang menderita asma dan rematik arthritis menunjukkan adanya perbaikan fungsi paru-paru setelah melakukan tes laboratorium,” kata Baikie.
Menulis, menurut peneliti dari Universitas Texas, James Pennebaker, bisa memperkuat sel-sel kekebalan tubuh yang dikenal dengan T-lymphocytes. Pennebaker meyakini, menuliskan peristiwa-peristiwa yang penuh tekanan akan membantu Anda memahaminya. Dengan begitu, akan mengurangi dampak penyebab stres terhadap kesehatan fisik Anda.
Menurutnya, menulis adalah aktivitas mengasah otak kiri yang berkaitan dengan analisis dan rasional. Saat melatih otak kiri, otak kanan akan bebas untuk mencipta, mengintuisi, dan merasakan. Menulis bisa menyingkirkan hambatan mental dan memungkinkan seseorang menggunakan semua daya otak untuk memahami diri sendiri, orang lain, serta dunia sekitar dengan lebih baik.

Sumber:

Sumber: http://www.dakwatuna.com/2013/01/26945/menulis-itu-sehat-dan-menyehatkan/#ixzz2IJBbYmWt

Senin, 14 Januari 2013

Ghirah Sang Buya


‎## KABAR DUNIA ISLAM ##



Assalaamu'alaikum warohmatullohi wabarokaatuh

Mungkin banyak yang sudah melupakan buku Ghirah dan Tantangan Terhadap Islam karya Buya Hamka. Buku itu memang tipis saja, nampak tidak sebanding dengan koleksi masif seperti Tafsir Al Azhar, namun tipisnya buku tidak identik dengan kurangnya isi, apalagi pendeknya visi. Sesuai judulnya, buku tersebut membahas masalah-masalah seputar ghirah dengan bercermin pada kasus-kasus yang terjadi di Indonesia. Meskipun buku ini diterbitkan pada awal tahun 1980-an, pada kenyataannya masih banyak pelajaran yang dapat kita ambil untuk dipraktekkan dalam kehidupan di masa kini.

Buya Hamka memulai uraiannya dengan sebuah kasus yang dijumpainya di Medan pada tahun 1938. Seorang pemuda ditangkap karena membunuh seorang pemuda lain yang telah berbuat tidak senonoh dengan saudara perempuannya. Sang pemuda pembunuh itu pun dihukum 15 tahun penjara. Akan tetapi, tidak sebagaimana narapidana pada umumnya, sang pemuda menerima hukuman dengan kepala tegak, bahkan penuh kebanggaan. Menurutnya, 15 tahun di penjara karena membela kehormatan keluarga jauh lebih mulia daripada hidup bebas 15 tahun dalam keadaan membiarakan saudara perempuannya berbuat hina dengan orang.

Dalam sejarah peradaban Indonesia, suku-suku lain pun memiliki semangat yang tidak kalah tingginya dalam menebus kehormatan. Menurut Hamka, bangsa-bangsa Barat sudah lama mengetahui sifat ini. Mereka telah berkali-kali dikejutkan dengan ringannya tangan orang Bugis untuk membunuh orang kalau kehormatannya disinggung. Demikian pula orang Madura, jika dipenjara karena membela kehormatan diri, setelah bebas dari penjara ia akan disambut oleh keluarganya, dibelikan pakaian baru dan sebagainya. Orang Melayu pun dikenal gagah perkasa kalau sampai harga dirinya disinggung. Bila malu telah ditebus, biasanya mereka akan menyerahkan diri pada polisi dan menerima hukuman yang dijatuhkan dengan baik.

Di masa lalu, anak-anak perempuan di ranah Minang betul-betul dijaga. Para pemuda biasa tidur di surau untuk menjaga kampung, salah satunya untuk menjaga agar anak-anak gadis tidak terjerumus dalam perbuatan atau pergaulan yang menodai kehormatan kampung. Pergaulan antara lelaki dan perempuan dibolehkan, namun ada batas-batas tegas yang jangan sampai dilanggar. Kalau ada minat, boleh disampaikan langsung kepada orang tua.

Di jaman Rasulullah sallallahu alaihi wasallam. dulu pernah ada juga kejadian dahsyat yang berawal dari suatu peristiwa (yang mungkin dianggap) kecil saja. Seorang perempuan datang membawa perhiasannya ke seorang tukang sepuh Yahudi dari kalangan Bani Qainuqa’. Selagi tukang sepuh itu bekerja, ia duduk menunggu. Datanglah sekelompok orang Yahudi meminta perempuan itu membuka penutup mukanya, namun ia menolak. Tanpa sepengetahuannya, si tukang sepuh diam-diam menyangkutkan pakaiannya, sehingga auratnya terbuka ketika ia berdiri. Jeritan sang Muslimah, yang dilatari oleh suara tawa orang-orang Yahudi tadi, terdengar oleh seorang pemuda Muslim. Sang pemuda dengan sigap membunuh si tukang sepuh, kemudian ia pun dibunuh oleh orang-orang Yahudi. Perbuatan yang mungkin pada awalnya dianggap sebagai candaan saja, dianggap sebagai sebuah insiden serius oleh kaum Muslimin. Rasulullah sallallahu alaihi wasallam. pun langsung memerintahkan pengepungan kepada Bani Qainuqa’ sampai mereka menyerah dan semuanya diusir dari kota Madinah.

Itulah ghirah, yang diterjemahkan oleh Buya Hamka sebagai “kecemburuan”.

Penjajahan kolonial di Indonesia membawa masuk pengaruh Barat dalam pergaulan muda-mudi bangsa Indonesia. Pergaulan lelaki dan perempuan menjadi semakin bebas, sejalan dengan masifnya serbuan film-film Barat. Batas aurat semakin berkurang, sedangkan kaum perempuan bebas bekerja di kantor-kantor. Demi karir, mereka rela diwajibkan berpakaian minim, sedangkan keluarganya pun merasa terhormat jika mereka punya karir, tidak peduli bagaimana caranya. Tidak ada lagi kecemburuan.

Tidak ada yang boleh marah melihat anak perempuannya digandeng pemuda yang entah dari mana datangnya. Suami harus lapang dada kalau istrinya pergi bekerja dengan standar berpakaian yang jauh dari syariat, karena itulah yang disebut “tuntutan pekerjaan”.

Sesungguhnya ghirah itu merupakan bagian dari ajaran agama. Pemuda Muslim yang membela saudarinya dari gangguan orang-orang Yahudi Bani Qainuqa’ menjawab jerit tangisnya karena adanya ikatan aqidah yang begitu kuat. Menghina seorang Muslimah sama dengan merendahkan umat Islam secara keseluruhan.

Ghirah adalah konsekuensi iman itu sendiri. Orang yang beriman akan tersinggung jika agamanya dihina, bahkan agamanya itu akan didahulukan daripada keselamatan dirinya sendiri. Bangsa-bangsa penjajah pun telah mengerti tabiat umat Islam yang semacam ini. Perlahan-lahan, dikulitinyalah ghirah umat. Jika rasa cemburunya sudah lenyap, sirnalah perlawanannya.

Buya Hamka mengkritik keras umat Muslim yang memuji-muji Mahatma Gandhi tanpa pengetahuan yang memadai. Gandhi memang dikenal luas sebagai tokoh perdamaian yang menganjurkan sikap saling menghormati di antara umat beragama, bahkan ia pernah mengatakan bahwa semua agama dihormati sebagaimana agamanya sendiri. Pada kenyataannya, Gandhi berkali-kali membujuk orang-orang dekatnya yang telah beralih kepada agama Islam agar kembali memeluk agama Hindu. Kalau tidak dituruti keinginannya, Gandhi rela mogok makan. Itulah sikap sejatinya, yang begitu cemburu pada Islam, sehingga tidak menginginkan Islam bangkit, apalagi memperoleh kemerdekaan dengan berdirinya negara Pakistan.

Dua dasawarsa lebih berlalu dari wafatnya Hamka, nyatalah bahwa hilangnya ghirah adalah salah satu masalah terbesar yang menggerogoti umat Islam di Indonesia. Sekarang, orang tua pun rela menyokong habis-habisan anak perempuannya untuk menjadi mangsa dunia hiburan. Para ibu mendampingi putri-putrinya mendaftarkan diri di kontes-kontes model dan kecantikan, yang sebenarnya hanya nama samaran dari kontes mengobral aurat.

Kalau kepada putri sendiri sudah lenyap kepeduliannya, kepada agamanya pun begitu. Makanan fast food dikejar karena prestise, tak peduli keuntungannya melayang ke Israel untuk dibelikan sebutir peluru yang akhirnya bersarang di kepala seorang bayi di Palestina. Kalau dulu seluruh kekuatan militer umat Islam dikerahkan untuk mengepung Bani Qainuqa’ hanya karena satu Muslimah dihina oleh tukang sepuh, maka kini jutaan perempuan Muslimah diperkosa, jutaan kepala bayi diremukkan dan jutaan pemuda dibunuh, namun tak ada satu angkatan bersenjata pun yang datang menolong.

Luar biasa generasi anak-cucu Buya Hamka, karena mereka telah benar-benar mati rasa dengan agamanya sendiri. Ketika anak-anak muda dibombardir dengan pornografi, maka umatlah yang dipaksa diam dengan alasan kebebasan berekspresi. Tari-tarian erotis digelar sampai ke kampung-kampung yang penduduknya tak punya cukup nasi di dapurnya, hingga yang terpikir oleh mereka hanya jalan-jalan yang serba pintas. Ramai orang mengaku nabi, sementara para pemuka masyarakat justru menyuruh umat Islam untuk berlapang dada saja. Padahal yang mengaku-ngaku nabi ini ajarannya tidak jauh berbeda: syariat direndahkan, kewajiban-kewajiban dihapuskan, para pengikut disuruh mengumpulkan uang tanpa peduli caranya, orang lain dikafirkan, bahkan para pengikutnya yang perempuan disuruh memberikan kehormatannya pada sang nabi palsu. Atas nama Hak Asasi Manusia, umat disuruh rela berbagi nama Islam dengan para pemuja syahwat.

Atas nama toleransi, dulu umat Islam digugat karena penjelasan untuk Surah Al-Ikhlash dalam buku pelajaran agama Islam dianggap melecehkan doktrin trinitas. Kini, atas nama pluralisme, umat Islam dipaksa untuk mengakui bahwa semua agama itu sama-sama baik, sama-sama benar, dan semua bisa masuk surga melalui agamanya masing-masing. Maka pantaslah bagi kita untuk merenungkan kembali pesan Buya Hamka dalam Tafsir Al Azhar ketika menjelaskan makna dari ayat ke-9 dalam Surah Al-Mumtahanah:

...orang yang mengaku dirinya seorang Islam tetapi dia berkata; “Bagi saya segala agama itu adalah sama saja, karena sama-sama baik tujuannya.” Orang yang berkata begini nyatalah bahwa tidak ada agama yang mengisi hatinya. Kalau dia mengatakan dirinya Islam, maka perkataannya itu tidak sesuai dengan kenyataannya. Karena bagi orang Islam sejati, agama yang sebenarnya itu hanya Islam.

"Kecemburuan adalah konsekuensi logis dari cinta. Tak ada cemburu, mustahil ada cinta."

Dan apabila Ghirah telah tak ada lagi, ucapkanlah takbir empat kali ke dalam tubuh ummat Islam itu. Kocongkan kain kafannya lalu masukkan ke dalam keranda dan hantarkan ke kuburan. (Buya Hamka)

Wassalaamu'alaikum warohmatullohi wabarokaatuh

“Wahai yang bersemangat lemah, sesungguhnya jalan ini padanya Nuh menjadi tua, Yahya dibunuh, Zakariya digergaji, Ibrahim dilemparkan ke api yang membara, dan Muhammad disiksa, dan engkau menginginkan Islam yang mudah, yang mendatangi kedua kakimu?” ~ Ibnu Qayyim al-Jauziyah ~
_  fadilah ketua pks pariaman selatan

Jumat, 11 Januari 2013

Wow, KPK Usut Penyelenggaraan Haji hingga ke Mekah


Headline
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengusut kasus dugaan korupsi dalam penyelenggaraan ibadah haji di Kementerian Agama RI hingga ke Mekah - Ist
Oleh: Firman Qusnulyakin
nasional - Selasa, 8 Januari 2013 | 09:35 WIB
INILAH.COM, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengusut kasus dugaan korupsi dalam penyelenggaraan ibadah haji di Kementerian Agama hingga ke Mekah.

"Beberapa waktu lalu KPK mengirimkan tim ke Mekah untuk mengevaluasi dan mengkaji penyelenggaraan haji di negeri ini," ujar Juru Bicara KPK Johan Budi Sapto Prabowo, di Jakarta, Selasa (8/1/2013).

Namun Johan mengaku bahwa laporan dari Mekah belum bisa disampaikan karena masih dievaluasi seluruh proses penyelenggaraan ibadah haji mulai dari penginapan, katering, dan lain-lain.

Selain itu, KPK juga melakukan klarifikasi laporan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) serta laporan masyarakat.

"Bayangkan orang daftar haji sekarang, baru bisa berangkat lima tahun kemudian," tambah Johan.

Sebelumnya INILAH.COM memberitakan, KPK tengah mengkaji dugaan korupsi penyelenggaran dan penggunaan dana haji di Kantor Kementerian Agama (Kemenag).

Menurut Johan, ada dua hal yang sedang dipantau KPK terkait hal itu. Pertama, pihaknya sudah menerima laporan PPATK yang berkaitan dengan rekening penggelolaan dana haji. Kedua, KPK juga sedang melakukan kajian terhadap penyelenggaraan dan penggunaan dana haji.

"Penyelenggaraan haji sedang dikaji. Nanti dilihat bagian mana yang ada korupsinya. Sekarang masih ditelaah di bagian pengaduan masayarakat," kata Johan, Selasa (8/1/2013).

Johan menjelaskan, kajian laporan tentang penyelenggaraan haji tahun 2012-2013 ini merupakan lanjutan dari kajian sebelumnya.

"Dulu pernah kami berikan rekomendasi terkait uang pendaftaran haji. Kami rekomendasi untuk dimoratorium pendaftaran haji. Calon haji daftar saja dengan nama tidak gunakan uang. Waktu itu dana haji Rp40 triliun dan bunganya Rp1,5 triliun sampai Rp1,7 triliun," ungkapnya. [yeh] (pks pariaman selatan)

Kamis, 10 Januari 2013

Habis-habisan untuk Dakwah, Ikhwah ini Allah Berikan 'Hadiah'... | Inspiring Story

Habis-habisan untuk Dakwah, Ikhwah ini Allah Berikan 'Hadiah'... | Inspiring Story

Rabu, 09 Januari 2013


Gludak....gluduk... kerompyang….

by Ibnu Ismail, Balikpapan

Beberapa waktu lalu datanglah utusan HAMAS ke Balikpapan, Syaikh Shiyam dan Syaikh Abdul Azis bersama para pegiat peduli Palestina dari Komite Nasional untuk Rakyat Palestina (KNRP) Jakarta. Mereka datang dalam rangka penggalangan dana untuk Palestina. Saat itu sedang terjadi perang Hijaratus sijjil di bumi Gaza.
Siang itu terik tak terperi.  Baling-baling kipas anginku sudah mematung lantaran dinamonya telah tamat riwayatnya. Mati mendadak beberapa hari silam terserang stroke hebat karena kebanyakan berputar sementara terjadi penyumbatan-penyumbatan debu pada celah kumparannya. Kipas angin itu tak ubahnnya hanya sebuah patung maniken yang tidak laku.
Aku dan isteriku duduk berhadapan sambil bercakap-cakap dalam suasana rumah panas karena bias matahari yang mengurung rumah kami.
Aku: “Mi… kau tahu kan betapa kalau mendengar Palestina bergetar rasa tubuhku ini. Mendidih darahku hendak pergi berperang melawan Israel terlaknat. Tapi tak mungkin pula aku kesana. Paling-paling nanti ngerepotin tentara HAMAS saja, mereka repot jagain aku karena tak paham medan. Besok ada penggalangan dana untuk Palestina oleh KNRP. Masih adakah uang kita?”
Isteriku: “Aih, tak ada uang lagi kita abi, kecuali buat makan 10 hari. Tahu kan ini bulan tua? Belum gajian”.
“Ah iya… kenapa pula bulan, kau  ini cepat kali tuanya? Ini KNRP juga tak pandailah cari momen. Masak menggalang dana bulan-bulan tua begini. Tak punya almanak kah mereka ini bah? Ah memang kantor aja yang tidak mau beda dikit. Coba gajian tiap hari aja, tak usah tunggu akhir bulan.” Menggerutu aku cari kambing hitam. Padahal memang begitulah saban bulan. Besar pasak daripada tiang.
Isteriku semakin cepat mengibas-ngibaskan potongan kardus aqua yang dibuatnya kipas angin manual. Keringatnya mulai kering. Akhirnya aku perintahkan ia untuk mengumpulkan semua uang yang tersisa untuk disumbangkan ke Palestina dalam penggalangan dana besok. Kecuali hanya sedikit untuk beli bensin kendaraan. Urusan makan nanti ajalah, Allah yang atur ujarku. Isteriku yang solehah itu mengangguk saja menurut. Singkat cerita esoknya ramailah manusia berdesakan menyaksikan konser amal Opik, Sulis dan Grup Nasyid Shoutul Harokah di hotel Novotel Balikpapan.
Setiap ada yang menyumbang atau membeli barang lelang amal dalam jumlah besar, hatiku merinding. Ada yang membeli sorban Opik lima juta. Ada yang menawar delapan juta. Airmataku bercucuran. Aku demi Allah iri terhadap mereka. Seolah mereka berlomba memboking kamar di Surga. Aku tersudut dalam jasad miskin nan papa ini melantunkan potongan ayat Al-qur’an yang menurutku sangat cocok dengan kondisiku: “...lalu mereka kembali, sedang mata mereka bercucuran air mata karena kesedihan, lantaran mereka tidak memperoleh apa yang akan mereka infaqan” (QS: At-Taubah :92).
Ketika tiba waktu melelang syal rajutan keluarga Ismail Haniya dan ditandatangani oleh perdana menteri Hamas itu, suasana tegang. Dibuka harga dua puluh juta. Lalu naik perlahan-lahan dua puluh delapan juta, tiga puluh juta, enam puluh juta. Aku hampir pingsan tak berdaya. Kembali surah at-taubah ayat 92 mengiang-ngiang di telingaku. Akhirnya syal itu tutup harga tujuh puluh dua juta rupiah. Dibeli oleh sepasang pengantin muda yang tengah menanti kelahiran anak pertama mereka.
Lututku bergetar dan akhirnya jatuh terantuk ke atas lantai. Disusul jatuhnya airmataku setetes demi setetes. Allah… betapa beruntungnya orang kaya hari ini. Sungguh tak pernah aku iri kepada seorang kecuali hari ini. Aku hancur lebur dalam keharuan dan penyesalan. Dadaku berdegup kencang.
Belum selesai hatiku berdebam-debam dimumumkan pula kalau ada yang menyumbangkan rumahnya di Samarinda dan ada yang menyumbangkan mobilnya. Hampir saja aku pingsan. Kering kerontang tenggorokanku. Dehidrasi menahan dahaga iman yang bergejolak. Sungguh Allah hadirkan aku dalam suasana iman yang misterius ini dan menyaksikan iman orang berkelebatan menyambut seruan jihad maali. Aku hanya ternganga menatap langit-langit gedung. Hanya sanggup memancang niat, andai saja aku punya sekarung emas, akan ku-infaq-an hari ini untuk jihad Al-Aqsa.
Sudahlah tak sanggup lagi bercerita banyak mengisahkan hari indah itu. Aku dan isteriku beserta keempat anakku pulang kembali ke rumah.
Tiba di rumah aku kembali dalam suasana panas terik mengepung rumah. Aku dan isteriku duduk berhadapan. Di samping mayat kipas angin. Isteriku mengambil kembali potongan kardus untuk menjadi kipas angin manualnya.
Aku:  “Umi aku lapar, ayo makan yok!”
Aku sedikit berteriak kepada isteriku yang beranjak sebentar menghidupkan mesin cuci tua. Dari pagi pakaian itu disitu belum sempat dicuci.
Isteriku: “Hendak makan apa kita bi? Tak ada beras. Tak ada lagi uang.”
Aku: “Astaghfirullah. Iya ya? Wah bagaimana ini? Kasihan anak-anak belum makan semua lagi.”
Suasana hening. Aku menepuk jidatku sendiri dan menggenggam rambut berpikir keras cari akal untuk menghadirkan makanan. Aku butuh uang paling tidak lima puluh ribu rupiah untuk beli beras lima kiloan cap kura-kura. Supaya bisa hidup sepuluh hari dengan itu. Atau paling tidak seminggu sampai gajian.
Lama aku terdiam buntu pikiran dan tak karuan rasa. Anak-anak sudah bergelimpangan di lantai lemas lapar bercampur ngantuk. Tiba-tiba ada suara gemuruh:  “gludak-gluduk kerompyang…. gludak-gluduk kerompyang…. gludak-gluduk kerompyang….”
Aku saling bertatapan dengan isteriku. Lalu kami sama-sama berlari menuju sumber suara. Ternyata berasal dari mesin cuci yang memutar cucian tidak balance sehingga inner bucket-nya menyentuh housing tidak karuan menghasilkan suara ribut (noise) yang ekstrim.
Isteriku membuka penutup mesin cuci. Demi melihatnya kedalam betapa terkejutnya kami berdua. Pakaian yang ada semua membentuk lingkaran menempel pada dinding inner bucket dan membuat pola huruf O. Ini wajar karena efek sentrifugal akan membuat pakaian itu terlempar ke radius terluar dinding itu. Namun yang membuat kami terkesima adalah di bagian tengah lingkaran pakaian itu tepat didasar bucket bercokol sebuah lembaran kertas kumal berwarna kebiru-biruan.
Subhanallah. Maha suci Allah yang mengirimkan selembar uang lima puluh ribu rupiah ke dalam mesin cuci kami. Secara spiritual tentu saja Malaikat lah yang telah diperintahkan Allah untuk mengirim uang itu ke dalam mesin cuci kami dan mendramatisirnya dengan senandung “gludak-gluduk kerompyang….”. Tapi secara ilmiah tentu saja ini adalah lembar uang yang terlupa di kantong celana dan ikut tercuci. Secara tidak sengaja keluar dari kantong karena efek sentrifugal putaran mesin cuci. Tapi entah kapan dan di kantong celana yang mana aku tak tahu.
Kami bersorak kegirangan. Aku tancap gas ke mini market membeli beras cap kura-kura lima kilo. Kami pun hidup bertahan sampai gajian. Meski hanya dengan lauk kerupuk dan kecap.


Balikpapan-Batuampar, 26 Shafar 1434H

*Ibnu Ismail, Kabid GMPro DPD PKS kota Balikpapan - Kaltim

  email: mulhadi_ismail@yahoo.com  (pks pariaman selatan)

Senin, 07 Januari 2013

Terkait Keganasan Densus 88 , Ormas Islam Jabar Siap Bentuk Tim Advokasi


Redaksi 1 – Senin, 24 Safar 1434 H / 7 Januari 2013 21:25 WIB
 Forum Ukhuwah Islamiyah (FUI) dibawah pimpinan Prof Dr Salim Badjri, melakukan inisiatif untuk menggelar Musyawarah Ormas-Ormas Islam yang ada di Jawa Barat. Acara digelar di Gedung Diklatpri jalan Pemuda Kota Cirebon tanggal 5 – 6 Januari. Acara ini diikuti antara lain Laskar Sabilillah, Pagar Aqidah (Gardah), Gerakan Muslim Penyelamat Aqidah (Gempa), Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Gerakan Anti Pemurtadan dan Aliran Sesat (Gapas), Front Pembela Islam (FPI) dan beberapa ulama.
Hal-hal terpenting yang dibahas dalam musyawarah ini adalah soal pendidikan, kenakalan remaja, kema’shiayatan dan korupsi, serta pencegahan aliran sesat dan pemurtadan. Masalah aliran sesat dan pemurtadan mendapat porsi penting pada acara ini. Utusan-utusan dari Kabupaten Cianjur, Kabupaten Kuningan dan Kota/Kabupaten Cirebon menganggap hal ini lebih urgen daripada pembahasan lainnya. Karena ketiga daerah itu saat ini mengalami eskalasi pemurtadan yang sangat mengkhawatirkan.
Foto bersama usai pembukaan Musyawarah, bersama forum  komunikasi Pimpinan Daerah.
Dua dari kiri Prof Dr Salim Badjri ketua Forum Ukhuwah Islamiyah.
Untuk Kabupaten Kuningan dan Kabupaten/Kota Cirebon, permasalahannya malah lebih rumit lagi karena ada dua hal lainnya, yakni yakni masalah aliran sesat yang terus merebak ditambah dengan gerakan pemurtadan yang terjadi karena adanya perlindungan dari sesama ormas Islam dan pemerintah. Dalam masalah pemurtadan Cianjur juga mengalami hal yang sama, yakni gerakan pemurtadan berjalan karena adanya peran aparatur negara.
Dalam kajian musyawarah ini setidaknya menemukan sebab-sebab maraknya pemurtadan adalah sebagai berikut :
  1. Karena agresifnya pihak Kristen untuk mengkristenkan Indonesia
  2. Peran para pejabat Kristen untuk memberikan dukungan moral dan perlindungan terhadap kegiatan pemurtadan di daerah-daerah.
  3. Peran aparatur pemerintahan yang beragama Islam, yang mudah menerima suap.
  4. Takutnya aparatur pemerintahan yang beragama Islam terhadap kekuatan Kristen (salah satunya takut dicap tidak toleran).
  5. Tidak adanya pencerdasan ummat dalam masalah aqidah dari otoritas Islam.
  6. Kemiskinan absolut, sehingga masyarakat mudah dibujuk dengan berbagai bantuan dari pihak Kristen.
  7. Belum padunya kekuatan Islam untuk melawan pemurtadan.
Keganasan Densus 88
Semula pada hari ahad tanggal 6 januari, akan diadakan apel siaga yang akan digelar di alun-alun Kejaksan Kota Cirebon untuk melanjutkan acara musyawarah yang berlangsung sebelumnya. Tetapi karena ada berita tentang keganasan Densus 88 terhadap para terduga teroris di Nusa Tenggara Barat dan Sulawesi Selatan, acara kemudian dipindahkan ke pesantren Tahfidzul Quran Al Falah di Pelandakan Kota Cirebon. Hal itu dilakukan karena para ulama menganggap lebih baik dilakukan pengarahan intensif dari pada melakukan orasi di lapangan.
Pengarahan dilakukan oleh tiga tokoh, yakni Ahmad Michdan, Ketua Tim Pembela Muslim (TPM), ustadz Said Sungkar (dari FPI wilayah Jawa Tengah), dan Prof Dr Salim Badjri. Dalam pengarahan itu Ahmad Michdan memberikan arahan supaya semua Ormas Islam membentuk tim advokasi, karena cara Densus 88 dalam menangani terorisme sudah sangat berlebihan, sehingga jika nanti ada pihak ormas yang dituduh teroris dan atau kemudian dikejar padahal bukan teroris, maka pembelaan hukum sudah siap.
Sementara itu Ustadz Said Sungkar menekankan supaya para aktivis Islam tetap maju berdakwah dengan kesabaran, karena menegakkan kebenaran itu sangat sulit dan penuh dengan fitnah yang memojokkan. Langkah pertama dan terpenting bagi para anggota aktivis Islam adalah membersihkan aqidah dan I’tiqad, kemudian menjalankan ibadah dengan tekun dan menjauhi ma’shiyat. Karena kekuatan Islam terletak pada semua unsur itu.
Sedangkan Prof Dr Salim Badjri menekankan, supaya ormas-ormas Islam melepaskan baju kefanatikan ashobiyahnya, dan senantiasa menjalin komunikasi dan silaturrahmi satu sama lain. Karena silaturrahmi adalah kekuatan kedua setelah aqidah. Dengan silaturrahmi akan terbentuk kekuatan yang didasari keikhlashan. Dengan semua itu Insya Allah Ummat Islam akan menang.
Pengarahan dari  Ketua TPM Ahmad Michdan, Ustadz Said Sungkar dan
 Prof Dr Salim Badjri di Masjid Pesantren Tahfizhul Qur’an Alfalah.

***Humas Forum Ukhuwah Islamiyah  (pks pariaman selatan)